7 Ciri khas kaum nahdliyyin (orang NU)--Saat ini, muslim Indonesia diramaikan dengan banyaknya aliran dan faham. Dari mulai faham yang dianggap ortodoks hingga paham keIslaman yang dianggap modern. Dari mulai faham yang dianggap ahlussunah hingga yang dianggap bid'ah. Dari mulai yang dianggap Islam kaffah hingga yang dianggap Islam abangan.
7 ciri khas kaum nahdliyyin di antaranya menyajikan mengenai apa saja perbedaan antara macam-macam Islam itu tentu butuh pembahasan panjang. Di artikel lain pada kesempatan lain nanti akan coba saya paparkan. Namun secara spesifik, saya hanya akan memfokuskan tulisan pada ciri-ciri orang NU atau nahdliyyin.
Sebagai pembuka, NU adalah organisasi keagamaan terbesar sedunia. Meski kehadirannya terbentuk secara struktural di belakang Muhammadiyah, namun eksistensi NU secara kultural sudah lebih dulu dan tak bisa dipandang remeh. Basis massa NU yang mayoritas adalah masyarakat awam atau, meminjam bahasa Nur Khalik Ridwan, masyarakat akar rumput (grassroot).
Baca juga: Mengenal Istilah Tirakat Dalam Islam Di Indonesia
NU sering dianggap ortodoks atau bahkan dianggap penuh bid'ah oleh kelompok "Islam lain" sebab pemahamannya yang lekat dengan tradisi atau adat. Dibanding penyimpangan, bagi penulis, kedekatan NU dengan tradisi adalah sebentuk penghormatan NU terhadap tradisi yang menemukan landasan konseptualnya pada kaidah fiqh"al-adatu muhakkamah" dan landasan historisnya pada teladan Walisongo.
Singkat saja, tanda-tanda orang NU yang penulis rangkum berdasarkan analisis pribadi itu di antaranya:
1. Menjalankan tahlil. Mengesampingkan perdebatan landasan tahlil, nahdliyyin melanggengkan kebiasaan ini pada keluarga orang yang meninggal dunia. Bagi nahdliyyin, tahlil adalah sebentuk doa mengiringi kematian seorang muslim. Selain itu, tahlilan dianggap sebagai bhakti berupa doa dari anak cucu yang ditinggalkan. Meskipun doa itu termasuk dari kerabat tetangga yang memang diminta oleh anak dan cucu orang yang meninggal tersebut.
2. Menjalankan shalawat Nabi yang dipoles dengan nada bahkan alat musik. Tak sekedar bacaan shalawat standar seperti shalawat pada penggalan bacaan tasyahud, tetapi lebih dari itu, ada proses penciptaan syair atau lagu shalawat hingga dilantunkan mendayu-dayu baik diiringi musik tradisional maupun modern.
ciri khas kaum nahdliyyin (orang NU) |
7 ciri khas kaum nahdliyyin di antaranya menyajikan mengenai apa saja perbedaan antara macam-macam Islam itu tentu butuh pembahasan panjang. Di artikel lain pada kesempatan lain nanti akan coba saya paparkan. Namun secara spesifik, saya hanya akan memfokuskan tulisan pada ciri-ciri orang NU atau nahdliyyin.
Sebagai pembuka, NU adalah organisasi keagamaan terbesar sedunia. Meski kehadirannya terbentuk secara struktural di belakang Muhammadiyah, namun eksistensi NU secara kultural sudah lebih dulu dan tak bisa dipandang remeh. Basis massa NU yang mayoritas adalah masyarakat awam atau, meminjam bahasa Nur Khalik Ridwan, masyarakat akar rumput (grassroot).
Baca juga: Mengenal Istilah Tirakat Dalam Islam Di Indonesia
NU sering dianggap ortodoks atau bahkan dianggap penuh bid'ah oleh kelompok "Islam lain" sebab pemahamannya yang lekat dengan tradisi atau adat. Dibanding penyimpangan, bagi penulis, kedekatan NU dengan tradisi adalah sebentuk penghormatan NU terhadap tradisi yang menemukan landasan konseptualnya pada kaidah fiqh"al-adatu muhakkamah" dan landasan historisnya pada teladan Walisongo.
Singkat saja, tanda-tanda orang NU yang penulis rangkum berdasarkan analisis pribadi itu di antaranya:
1. Menjalankan tahlil. Mengesampingkan perdebatan landasan tahlil, nahdliyyin melanggengkan kebiasaan ini pada keluarga orang yang meninggal dunia. Bagi nahdliyyin, tahlil adalah sebentuk doa mengiringi kematian seorang muslim. Selain itu, tahlilan dianggap sebagai bhakti berupa doa dari anak cucu yang ditinggalkan. Meskipun doa itu termasuk dari kerabat tetangga yang memang diminta oleh anak dan cucu orang yang meninggal tersebut.
2. Menjalankan shalawat Nabi yang dipoles dengan nada bahkan alat musik. Tak sekedar bacaan shalawat standar seperti shalawat pada penggalan bacaan tasyahud, tetapi lebih dari itu, ada proses penciptaan syair atau lagu shalawat hingga dilantunkan mendayu-dayu baik diiringi musik tradisional maupun modern.
Bagi sebagian kelompok Islam lain, hal ini dibilang bid'ah yang secara terburu-buru ditafsiri melulu dhalalah (baca: sesat). Tapi bagi nahdliyyin seperti saya, hal itu adalah sebentuk representasi cinta kepada Rasulullah, kanjeng Nabi Muhammad Saw.
3. Memperingati Maulid Nabi. Maulid Nabi adalah bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw, yaitu bulan Rabi'ul Awwal. Nahdliyyin biasa memperingatinya sebagai bentuk kecintaan dan penghormatan kepada Sang teladan, Nabi Muhammad Saw. Meski pada praktiknya, nahdliyyin tidak secara tepat memperingatinya pada tanggal 12, namun pada tanggal berapa saja di bulan itu.
Baca juga : 3 Macam Warga Nahdliyyin
Ciri ketiga ini juga selaras dengan ciri yang kedua tadi. Bahkan memperingatinya dengan cara yang berbeda-beda, dari mulai menggelar shalawatan, dibaan, barzanji, ceramah keagamaan atau pengajian, hingga makan-makan ala peringatan maulid Nabi versi santri salaf (bukan salafiyah).
4. Erat dengan sarung. Memang Orang NU identik dengan orang salaf, orang pesantren. Wajar saja sarung menjadi ciri khas. Sarung, bagi kalangan nahdliyyin adalah icon dan identitas dua hal sekaligus, yaitu keislaman dan ke-NU-an. Hatta menjadi calon wakil presiden pun (KH. Ma'ruf Amin, pen.), sarung tak lepas. Sebab itu tadi bahwa sarung tak melulu sebatas pakaian tapi lebih dari itu, sarung dianggap sebagai identitas. Penggunaan sarung tentu memudahkan orang untuk membedakannya dengan celana hitam cingkrang. Sekaligus mengidentifikasi orang dari segi berpakaian, dari organisasi Islam manakah orang yang menggunakan pakain itu. Termasuk sarung. Bahkan, nahdliyyin klasik menyandingkan sarung dengan jubah. Para kiai salaf yang pernah penulis temukan, menggunakan sarung sebagai daleman/dobelan yang dipakai berbarengan dengan jubah.
4. Erat dengan sarung. Memang Orang NU identik dengan orang salaf, orang pesantren. Wajar saja sarung menjadi ciri khas. Sarung, bagi kalangan nahdliyyin adalah icon dan identitas dua hal sekaligus, yaitu keislaman dan ke-NU-an. Hatta menjadi calon wakil presiden pun (KH. Ma'ruf Amin, pen.), sarung tak lepas. Sebab itu tadi bahwa sarung tak melulu sebatas pakaian tapi lebih dari itu, sarung dianggap sebagai identitas. Penggunaan sarung tentu memudahkan orang untuk membedakannya dengan celana hitam cingkrang. Sekaligus mengidentifikasi orang dari segi berpakaian, dari organisasi Islam manakah orang yang menggunakan pakain itu. Termasuk sarung. Bahkan, nahdliyyin klasik menyandingkan sarung dengan jubah. Para kiai salaf yang pernah penulis temukan, menggunakan sarung sebagai daleman/dobelan yang dipakai berbarengan dengan jubah.
Baca juga: Memahami Politik NU ; Antara Politik Kebangsaan, Politik Kekuasaan, Dan Politik Kerakyatan
5. Peci hitam atau peci nasional. Ciri kelima ini mungkin masih diperdebatkan (dabatable). Namun hemat penulis, peci hitam identik dengan keIndonesiaan, bukan hanya keIslaman. Dan orang NU, menurut hemat penulis, menempatkan rasa nasionalisme keIndonesiaannya sedikit lebih tinggi dibanding kelompok lain. Saya masih ingat joke (guyonan mama Asmawi Babakan Ciwaringin Cirebon, guru penulis) bahwa menurut beliau tak selayaknya seseorang menggunakan kopiah haji putih jika orang itu belum pergi haji. Salah satunya, masih menurut beliau, akan diprotes oleh malaikat yang menjaga ka'bah. Adagium ini mungkin dianggap terlalu berani atau vulgar, karena pernyataan beliau yang melibatkan kata malaikat. Namun yang penulis pahami bahwa, adab Nahdliyyin, menempatkan jenis kopiah mana saja yang layak dipakai menunjukkan tingginya kehati-hatian dalam berpakaian sekaligus ketinggian tatakrama dalam berpakaian.
5. Peci hitam atau peci nasional. Ciri kelima ini mungkin masih diperdebatkan (dabatable). Namun hemat penulis, peci hitam identik dengan keIndonesiaan, bukan hanya keIslaman. Dan orang NU, menurut hemat penulis, menempatkan rasa nasionalisme keIndonesiaannya sedikit lebih tinggi dibanding kelompok lain. Saya masih ingat joke (guyonan mama Asmawi Babakan Ciwaringin Cirebon, guru penulis) bahwa menurut beliau tak selayaknya seseorang menggunakan kopiah haji putih jika orang itu belum pergi haji. Salah satunya, masih menurut beliau, akan diprotes oleh malaikat yang menjaga ka'bah. Adagium ini mungkin dianggap terlalu berani atau vulgar, karena pernyataan beliau yang melibatkan kata malaikat. Namun yang penulis pahami bahwa, adab Nahdliyyin, menempatkan jenis kopiah mana saja yang layak dipakai menunjukkan tingginya kehati-hatian dalam berpakaian sekaligus ketinggian tatakrama dalam berpakaian.
Menjadi Islam bukan berarti harus menjadi arab, sehingga identitas ke-Indonesiaan tak lantas mesti sepenuhnya digeser dengan identitas Islam a la Arab
Baca juga Siapakah Pengikut Ulama Salaf Seebenarnya
6. Berbicara dengan bahasa kaumnya. Maksud penulis adalah, orang NU seringkali tak menampakkan keIslamannya (baca: kealimannya dalam ilmu agama) selain dari akhlak dan perbuatannya. Orang NU lebih memilih menunjukkan keIslamannya dari akhlak seperti jujur, adil, amanah, tanggungjawab, kerjakeras, penyayang, tutur bahasa sopan santun, dan semacamnya daripada menunjukkan wajah Islam hanya dari bahasanya saja seperti "ana", "antum", dan semacamnya. Sebab bagi orang NU, menjadi Islam bukan berarti harus menjadi arab, sehingga identitas ke-Indonesiaan tak lantas mesti sepenuhnya digeser dengan identitas Islam a la Arab. Orang NU meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw diutus untuk seluruh alam dengan kompleksitas keunikan karakteristik daerahnya masing-masing. Dan Beliau diutus bukan untuk meng-arab-kan umat manusia, tetapi meng-Islam-kan umat manusia.
Tak seperti disangkakan banyak orang yang 'sinis' pada NU bahwa sesajen berkaitan dengan hal gaib yang klenik atau khurafat. Justru pada faktanya, sesajen dinikmati bersama oleh hadirin selepas doa atau acara.
7. Adanya Sesajen. Dalam bahasa Indonesia, sesajen dapat diartikan Sajian. Nyaris di setiap acara atau kegiatan masyarakat nahdliyyin selalu ditutup dengan acara makan-makan atau sekedar jaburan. Hal itu seakan sudah menjadi tradisi. Tiada lain, salah satu makna di balik sesajen yang disajikan adalah sebagai bentuk penghormatan kepada yang hadir. Menyajikan pelbagai makanan atau jaburan adalah jamuan penghormatan dari tuan rumah kepada tamu. Tak seperti disangkakan banyak orang yang 'sinis' pada NU bahwa sesajen berkaitan dengan hal gaib yang klenik atau khurafat. Justru pada faktanya, sesajen dinikmati bersama oleh hadirin selepas doa atau acara.
Sekian dulu tulisan saya. Masih banyak yang harus dikoreksi sana sini. Semoga di lain kesempatan. Sekali lagi ini hanya opini penulis yang bisa benar bisa salah. Semoga bermanfaat!
Catatan penulis, akhir-akhir ini ada banyak orang atau kelompok yang mengatasnamakan NU atau mengaku paling NU. Dan itu harus diwaspadai. Bahkan ada banyak penyamaran yang tujuan akhirnya ingin mengubah "warna" NU.
Sekian dulu tulisan saya. Masih banyak yang harus dikoreksi sana sini. Semoga di lain kesempatan. Sekali lagi ini hanya opini penulis yang bisa benar bisa salah. Semoga bermanfaat!
Catatan penulis, akhir-akhir ini ada banyak orang atau kelompok yang mengatasnamakan NU atau mengaku paling NU. Dan itu harus diwaspadai. Bahkan ada banyak penyamaran yang tujuan akhirnya ingin mengubah "warna" NU.
baca juga:
tags: