Blogger Jateng

3 Macam Warga Nahdliyyin

3 Macam Warga Nahdliyyin

Sejak dahulu saya bukan hanya mengagumi Nahdlatul Ulama (NU), tapi saya adalah warga NU itu sendiri. Kebetulan Kakek adalah imam musholla, yang menurut saya sangat NU dilihat dari amaliyahnya. Tapi hingga beliau wafat, beliau tidak menyatakan secara eksplisit bahwa beliau NU. Bahkan mungkin bisa jadi beliau tak paham betul dengan NU. Yang saya saksikan, beliau sangat manut pada kiai; setiap perkataan dan petuah kiai dari pesantren, terutama dari para masyayikh pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, beliau jadikan pegangan dan ajaran. 

Saya memaknai, berkhidmah ke NU berarti berkhidmah ke kiai-kiai NU. Begitupun sebaliknya. Mungkin cukup mengatakan "saya manut kiai anu", maka otomatis orang tersebut adalah nahdliyyin.

Sekelumit cerita pendek di atas menggambarkan, betapa ke-NU-an seseorang seringkali tidak disadari oleh pelakunya. Bahkan mungkin tak usah digembor-gemborkan atau diumumkan ke publik bahwa dirinya NU. Saya memaknai, berkhidmah ke NU berarti berkhidmah ke kiai-kiai NU. Begitupun sebaliknya. Mungkin cukup mengatakan "saya manut kiai anu", maka otomatis orang tersebut adalah nahdliyyin. Pada fakta ini, genealogi "keilmuan NU" begitu kental dan terasa. Nyaris otomatis ketika gurunya NU maka santri atau muridnya juga NU. Dalam tulisan ini, saya ingin mendedahkan 3 Macam Warga Nahdliyyin sebatas yang saya tahu dari literatur, pengamatan, dan pengalaman saya sendiri.

Pertama, Malu mengakui ke-NU-an. Sebagian nahdliyyin bahkan para kiainya, merasa malu mengakui ke-NU-annya. Dikarenakan tawadlu, merendahkan hati. Sebab bagi orang yang mengerti NU, NU adalah organisasi yang didalamnya banyak para masyayikh dan kiai alim ulama, hatta para wali jika dirunut dari sejarah. Kebanyakan dari golongan yang malu mengakui ke-NU-an ini adalah para alim yang berada di pedesaan, yang tidak punya pesantren, tidak punya lembaga pendidikan, atau berkecimpung di dunia sosial dan politik. Mereka hanya punya masyarakat kecil pedesaan. Mereka sering disebut sebagai kiai kampung. Meski pada perkembangannya saat ini, banyak di antara mereka yang masuk kepengurusan ranting di wilayahnya masing-masing, namun dahulunya mereka lebih senang menyembunyikan diri dari hiruk pikuk NU struktural. 

Kedua, Tidak merasa dirinya NU. Model ini sering terjadi pada warga nahdliyyin di pelosok. Dalam keseharian amaliyah ibadah mereka kental dengan nuansa NU. Mereka mengadakan tahlilan bagi yang wafat, ziarah kubur, tujuh bulanan, maulid Nabi, Diba'an atau barzanji, Selametan, Bongkar bumi, dan semacamnya yang mengandung unsur adat masyarakat setempat. Tentu hal itu adalah ciri dari pemahaman NU tentang agama dan budaya selaras dengan yang ditulis oleh Zae Abjal dalam 8 Amaliyah Ciri Khas Warga NU. Rata-rata mereka adalah orang awam, yang mungkin tidak mondok atau mesantren, tetapi ketaatan kepatuhan mereka kepada kiai nyaris tidak ada duanya. Mereka adalah kategori warga nahdliyyin yang tidak usah tahu penjabaran atau asal usul, dalam setiap amaliyah, bagi mereka cukup dengan alasan "itu kata kiai". 

Ketiga, merasa paling NU. Corak warga ini mungkin terkategori pada orang-orang yang menginginkan jabatan atau pamor dengan ke-NU-annya. Namun dipandang secara positif, perasaan paling NU menjadi penting demi menghadirkan dan menonjolkan Islam rahmatan lil alamin di tengah gempuran pelbagai paham keagamaan saat ini. Yang menarik pula bahwa, merasa paling NU kadang ditunjukkan oleh masyarakat awam. Saya menemukan anekdot di Madura, Jawa Timur. Di samping masyarakatnya dikenal sangat religius sebab kemana-mana memakai sarung hatta supir angkot dan ojek pangkalan sekalipun bersarung. Dengan polos, bangga, dan lantangnya mereka juga menjawab NU saat ditanya agamanya oleh orang lain. 

A: "ba'na agama apa?"

     (kamu agamanya apa?)

B: "agama ghula NU"

     (agama saya NU)