Blogger Jateng

Memahami Politik NU : Antara Politik Kebangsaan, Politik Kekuasaan Dan Politik Kerakyatan

Memahami Politik NU : Antara Politik Kebangsaan, Politik Kekuasaan Dan Politik Kerakyatan--Tulisan ini pernah dimuat di NU Online dengan judul "Memahami Politik NU" pada pertengahan 2018. Boleh cek disini : Memahami Politik NU. Penulisannya kembali semata dokumentasi pribadi dan agar bisa dinikmati sebagai referensi dan menambah pengetahuan bagi warga Nahdliyyin khususnya.


Godaan politik praktis begitu besar dan berhasil ‘menggoncang’ Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus memacu birahi politik para petingginya. Perdebatan kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU) masih panas seputar boleh atau tidaknya para pemimpin struktural NU terjun ke dunia politik praktis.

Belakangan, Masdar F. Mas’udi, Ketua Pengurus Besar NU, menyayangkan sikap kebanyakan pengurus NU yang lebih mengedepankan pemenuhan birahi politik mereka dibanding konsisten mengurusi NU (Jawa Pos, 18 Februari 2008).

Tampaknya, ada simpang-siur pemahaman di kalangan Nahdliyin terkait Khittah NU yang baru beberapa minggu lalu disegarkan wacananya pada puncak peringatan Hari Lahir ke-82 NU, di Jakarta. Kesalahpahaman Khittah, tampaknya berangkat dari ambiguitas konseptualisasinya ketika dipertentangkan dengan kenyataan.

Bolehkah tokoh yang aktif di kepengurusan NU, berpolitik praktis? Apakah keikutsertaan beberapa tokoh di kepengurusan NU dalam wilayah politik bisa dipahami sebagai salah satu langkah strategis NU?


Bukan hal aneh, sebagian petinggi NU berani mengambil bagian dalam aktivitas politik praktis. Ditambah lagi, keikutsertaan mereka sangat vulgar dan terang-terangan, tanpa risih dan malu pada organisasi NU-nya. Sementara, Nahdliyin (baca: masyarakat) dipusingkan dengan kontradiksi sikap politik sebagian pengurus NU. Kegamangan masyarakat mengerucut pada persoalan: bolehkah tokoh yang aktif di kepengurusan NU, berpolitik praktis? Apakah keikutsertaan beberapa tokoh di kepengurusan NU dalam wilayah politik bisa dipahami sebagai salah satu langkah strategis NU?

Sebelum menjawab persoalan di atas, ada baiknya memahami terlebih dulu posisi dan peran NU itu sendiri. Sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, NU harus mampu mensinergikan antara tiga peran utamanya, yaitu: (1) menanamkan corak keberagamaan tradisional yang moderat dan toleran (Bruinessen:1999:3-8); (2) memberdayakan masyarakat di bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya; dan, secara umum, (3) mempertahankan, membangun, dan membangun bangsa dan negara.

Tiga pilar utama peran NU kemudian disarikan dalam rumusan strategi politis sebagai senjata top-down, di samping senjata bottom-up melalui pemberdayaan dan pendekatan sosio-kultural. Strategi politik yang dimaksud terbagi tiga; pertama, politik kebangsaan. Nahdlatul Ulama (NU) punya tanggung jawab mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menolak bentuk disintegrasi apa pun. Fatwa Jihad NU pada Oktober 1945 dan tausiyah tentang ishlah 1998 adalah fakta sejarah sebagai bentuk penerjemahan politik kebangsaan NU.

Kedua, politik kerakyatan. NU memahami agama tidak melulu sebagai “biro perjalanan ke surga”, tetapi lebih sebagai agen perubahan sosial. Politik kerakyatan menemukan bentuknya dalam pemberdayaan masyarakat, pendampingan dan perjuangan atas hak-hak rakyat dan kaum tertindas. Peningkatan dan pemerataan pendidikan, dakwah keagamaan, pemberdayaan ekonomi kecil-menengah terus dimaksimalkan guna mewujudkan civil society.

Ketiga, politik kekuasaan atau bisa disebut politik NU. Guna memuluskan perjuangan mewujudkan civil society dan kemajuan bangsa, NU menganggap perlu mengambil peran dalam perpolitikan. Jalur politik menjadi salah satu pintu efektif mewujudkan mimpi terciptanya bangsa yang beradab.

Politik NU adalah strategi aktualisasi peran NU dalam ranah politik bangsa ini.Persoalan muncul dalam hal memahami politik kekuasaan NU yang terakhir tadi. Merujuk Khittah pada Muktamar NU di Situbondo, Jawa Timur (Jatim), 1984, NU sejatinya mengambil jarak dengan partai politik (parpol) dan kekuasaan. Maksudnya, kontribusi NU pada ranah politik praktis dibatasi pada perannya sebagai kontrol dan menyumbang gagasan balik (solusi) sebagai hasil pembacaan utuh atas problem bangsa.

NU semestinya mampu menempatkan diri: kapan bersinergi dan kapan membuat jarak dengan kekuasaan dan parpol. Dengan moderasi sikap NU seperti itu, peran pemberdayaan masyarakat tidak akan terabaikan. Kekeliruan menerjemahkan politik kekuasaan NU menghadirkan fenomena politisasi NU. NU dijadikan kendaraan oknum tertentu untuk memuaskan hasrat politik dan kepentingan mereka sendiri. Peran NU sedemikian rupa ditundukkan ke dalam kepentingan yang berdimensi pribadi, kelompok, dan golongan.

Tampaknya, perwujudan politisasi NU dalam politik praktis sangat kental terutama pada momen pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum nasional.Momen pemilihan gubernur Jatim 2008, menampakkan adanya indikasi politisasi NU. Bahkan, di beberapa daerah di Jatim, jabatan pengurus NU disandingkan dengan jabatan publik sekaligus. Alih-alih, kenyataan itu dianggap lumrah terjadi sehingga tak mampu membuka mata para petinggi NU untuk berusaha menyelesaikan persoalan itu.

Murni terjun di ranah politik praktis tanpa menanggalkan baju ke-NU-annya adalah penyimpangan khitah NU—kalau bukan pengkhianatan. Adapun peran politik NU tidak lalu hanya diterjemahkan secara telanjang untuk berkecimpung langsung di dunia politik praktis.Butuh ketegasan dan komitmen NU, secara keorganisasian, terhadap pengurusnya yang terlibat di politik praktis. Memilih Khittah, berarti tidak mentolerir ‘pengkhianatan’ atasnya. Jangan sampai Khittah NU dituduh hanya sekedar kedok untuk melindungi syahwat politik orang tertentu.

Lebih jauh, tuntutan dipenuhinya ‘takdir’ Khittah ialah dalam rangka mempertegas garis gerak sosio-politik NU itu sendiri demi tercapainya pencerahan dan transparansi politik bagi bangsa (Masmuni Mahatma: 2005:14). Tanpa ketegasan, Khittah akan berhenti sebatas wacana di satu sisi, dan makin meningkatnya libido politik sebagian nakhoda NU untuk mempolitisasi NU guna kepentingan dirinya sendiri.






tags: 
#peran nu dalam bidang politik
#sebutkan 3 peran nu dalam bidang politik
#politik kebangsaan indonesia
#bagaimana sikap nu dalam sebuah politik
#politik dalam pemahaman nu yaitu politik kebangsaan kerakyatan dan kekuasaan menurut
#politik kebangsaan adalah
#visi perjuangan nu di bidang politik
#dampak khittah nu di bidang politik