[Jika saya tidak salah, artikel ini sudah pernah dimuat di Majalah Edukasi Sumenep. tahun, bulan, dan tanggalnya sudah lupa. Pendokumentasiannya adalah kepentingan pribadi dan siapa tahu bermanfaat bagi pembaca.]
Pertumbuhan dan perkembangan Islam kaitannya dengan pesantren ibarat sayur dengan garamnya. Keduanya menyatu, nyaris tak bisa dipisahkan. Sebagai institusi pendidikan islam, pesantren mempunyai peran yang begitu besar dalam perkembangan Islam di Indonesia. Di samping itu, sepak terjang pesantren mampu mewarnai dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Lebih khusus, jasa pesantren (baca: Islam) tak terkira besarnya dalam perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Eksistensi pesantren juga tidak hanya berfungsi semata institusi pendidikan islam. Lebih dari itu, dalam gerak transformasi dan pemberdayaan masyarakat, pesantren mengambil peran yang juga besar. Kesatuan pesantren dan masyarakat ditunjukan oleh peran pesantren yang integral dan membumi. Sejak kemunculannya, pesantren konsisten menjadi basis bagi bergulirnya sebuah proses social development. Layak jika pesantren dianggap sebagai Indonesian indegious culture atau Clifford Geertz menyebutnya sebagai subkultur masyarakat Indonesia.
Bertolak dari posisi yang strategis itu, tanggungjawab pesantren kini makin berat. Kemajuan jaman dengan pelbagai dampak yang menyertainya menuntut kesediaan pesantren untuk cerdas menjawabnya. Perubahan di semua level kehidupan meniscayakan pula perubahan besar-besaran di segala aspek peradaban manusia. Kenyataan hari ini, salah satunya, perubahan jaman telah menggeser paradigma dan nilai keberagamaan (Islam) ke titik terendah kesadaran manusia. Orang nyaris tak lagi melandaskan perilakunya pada nilai-nilai keislaman. Pada gilirannya, hal itu berujung pada adanya distorsi sikap dan perilaku sebagai sebuah bangsa yang religius dan beradab.
Berkaitan dengan itu, KH. Tidjani memilah problem abad-21 pada tiga problem besar (Tidjani:2008:24). Pertama, pergeseran nilai-nilai dan moralitas hidup. Tengah terjadi sebuah proses dekadensi atau distorsi nilai dan moral umat. Kini, moralitas dan nilai-nilai agama hampir tidak "populer" dan bahkan tak jarang malah dianggap "kuno". Nilai luhur agama dan bangsa, lambat tapi pasti, digeser oleh nilai-nilai dehuman dari kapitalisme, globalisasi, dan westernisasi.
Akibatnya, terjadi perubahan pola hidup—merupakan problem yang kedua. Umat nyaris kehilangan jati-dirinya sebagai bangsa yang beradab dan menunjung tinggi nilai agama serta nilai-nilai ketimuran. Tampaknya, perilaku umat hari ini tidak lagi mencerminkan sebagai sebuah bangsa yang religius dan beradab. Tindak kekerasan, maraknya kenakalan remaja, narkoba, dan prostitusi, ditambah lagi mengguritanya imitasi terhadap budaya barat yang besar-besaran yang nyaris tanpa filter, menunjukkan wajah distorsi sikap keberagamaan dan, bahkan, kemanusiaan
Ketiga, krisis kepemimpinan. Tampaknya, masyarakat kini dihadapkan pada realitas bobroknya kepemimpinan. Para wakil rakyat kini lebih mengedepankan kepentingan pribadinya daripada memperjuangkan aspirasi masyarakat. Tak hanya dalam ranah pemerintahan, para pemimpin kultural masyarakat pun tak lagi amanah. Hal itu kerap ditunjukkan oleh perilakunya yang sering menggadaikan massa (masyarakat) demi keuntungan pribadi. Fenomena itu pula tak jarang dilakukan oleh seorang tokoh agama.
Dalam kerangka besar kenyataan inilah, pesantren dituntut peran dan tanggungjawabnya menyumbangkan kontribusi konkret terhadap perbaikan bangsa. Keterpurukan bangsa saat ini menuntut pesantren untuk mengambil peran strategis dalam membantu menyelesaikannya. Kompleksitas problem kemasyarakatan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Dan, pesantren mengemban tanggungjawab untuk mengatasinya.
Segala tantangan dan tanggungjawabnya yang makin besar, menghantui masa depan pesantren. Apakah ia tetap mampu eksis berperan sebagaimana keberadaanya dulu yang disegani dan diperhitungkan dalam sejarah perjalanan bangsa?
Memang, secara mendasar, tugas utama pesantren ialah mendidik umat dan membangun generasi ulama. Sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia, pesantren adalah tempat dimana intelektualitas diasah dan moralitas-spiritualitas didalami dan dipraktikkan. Peran pesantren yang demikian itu guna meretas usaha perbaikan melalui pembentukan akhlak dan secara terus menerus melahirkan generasi bermutu (insan kamil), calon aktor-aktor di tengah masyarakat nantinya.
Namun tidak hanya itu, realitas menuntut peran lebih pesantren daripada sekedar lembaga pendidikan. Eksistensi pesantren dituntut memberi bias konkret terhadap problem nyata keseharian umat. Satu lagi, ciri utama pesantren, di samping istiqamah membangun umat melalui pendidikan, juga respon dan tanggap terhadap persoalan riil kemasyarakatan dan kebangsaan. Pesantren dituntut menjadi motor bagi terciptanya sebuah proses social development.
Pembacaan atas problem di atas menunjukkan betapa bobroknya bangsa ini. Dan, secara tidak langsung, menunjukkan kegagalan dunia pendidikan kita membangun generasi bangsa. Sebagai tokoh pesantren (pemikir sekaligus praktisi), "kekusutan" itu menghadirkan keprihatinan tersendiri bagi Tidjani. Dalam merespon problem keagamaan dan kebangsaan di atas, penekanan pada fungsi dan peran pesantren menjadi prioritas mengingat posisi pesantren yang masih strategis dalam masyarakat. Tiga peran dan fungsi pesantren menjadi alternatif langkah sebagai solusi yang kemudian butuh ke-istiqamah-an untuk terus digalakkan.
Pertama, pesantren hendaknya mengoptimalkan perannya sebagai lembaga pendidikan. Optimalisasi yang ditunjukkan dengan konsentrasi penuh membangun generasi penerus bangsa melalui pengintegrasian nilai-nilai keislaman. Sebab dengan itu diharapkan akan lahir generasi bermutu yang amanah (Insan Kamil). Penanaman nilai yang tidak terbatas pada transformasi pengetahuan dan nilai, tetapi juga praktiknya dalam hidup keseharian.
Kedua, pesantren harus betul-betul mampu menjadi lembaga dakwah praktis. Pencerdasan masyarakat melalui pendidikan atau dakwah (bi al- lisan) langsung pada mereka untuk ber-amar ma'ruf nahi munkar di satu sisi, dan mencetak ulama untuk menjadi pelopor (dakwah) tauladan (bi al-hal) di tengah masyarakat di sisi lain adalah pengejawantahan fungsi dakwah pesantren.
Ketiga, pesantren harus bisa memosisikan diri sebagai lembaga sosial kemasyarakatan. Mengingat pesantren sebagai subkultur masyarakat, peran sosial pesantren tidak boleh diabaikan. Untuk tugas itu, Tidjani mewajibkan pesantren mengambil peran sebagai lembaga sosial yang aktif memberdayakan masyarakat. Pembentukan badan otonom pesantren yang konsen memberdayakan masyarakat atau membagi peran para pimpinan pesantren antara mengurusi umat dan konsentrasi mendidik santri merupakan strategi pengejawantahan posisinya sebagai lembaga sosial kemasyarakatan secara proporsional.
Tampaknya kini peran dan fungsi pesantren belum sepenuhnya dilaksanakan. Sejarah panjang perjuangan pesantren dalam pelbagai ranah yang mengkristal pada nilai-nilai tradisional yang unik dan membumi belum sepenuhnya dijaga dan dilestarikan. Pesantren mestinya menjadikan jargon "al-muhafadlatu 'ala qadim al-salih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah" sebagai semangat dan prinsip dalam menghadapi tantangan jaman.
Mudah-mudah-sulit meramalkan masa depan pesantren. Sebab eksistensi utuhnya ditunjukkan dari seberapa istiqamahnya pesantren mengejawantahkan peran dan fungsinya secara proporsional; (juga) sebab masyarakat masih memercayai pesantren sebagai basis utama pendidikan moralitas dan akhlak generasi bangsa.
Masa depan pesantren ditentukan komitmen stakeholder, pengasuh, pengurus, dan elemen-elemen lain yang ada di dalamnya dengan terus menguatkan tradisi dan memperbaharui sistem pendidikan yang kontekstual dengan tuntutan jaman. Dari langkah itulah hitam-putih ramalan orang tentang masa depan pesantren tidak perlu dikhawatirkan.