[Artikel ini pernah dimuat di Tabloid Kominfo Sumenep Madura entah tahun berapa bulan berapa tanggal berapa entahlah. Penulisannya kembali di blog ini adalah pendokumentasian pribadi sembari menertawakan kelucuan buah pemikiran masa muda. MasyaAllah]
Pesantren adalah lumbung di mana di dalamnya terbangun tradisi pergesekan intelektual. Sejak kelahirannya, pesantren mengambil peran sebagai rahim yang telah bisa melahirkan tokoh-tokoh iintelektual kawakan (Abdurrahman Mas’oed, 2006:41).
Pesantren adalah lumbung di mana di dalamnya terbangun tradisi pergesekan intelektual. Sejak kelahirannya, pesantren mengambil peran sebagai rahim yang telah bisa melahirkan tokoh-tokoh iintelektual kawakan (Abdurrahman Mas’oed, 2006:41).
Laiknya madrasah dan universitas-universitas terkemuka timur tengah masa keemasan islam, pesantren memendam sebuah gejolak pemikiran yang cukup dinamis. Terutama pemikiran keislaman, pergulatan pemikiran santri mampu mewarnai jagad raya keilmuan bangsa ini. Sekedar menyebut beberapa (mantan) santri: Ulil Absar, Guntur Romli, Zuhairi Misrawi, hingga (yang masih muda) Masmuni Mahatma dan Suhaidi RB yang keduanya orang Madura. Mereka itu adalah anak-anak pesantren yang dibesarkan, digodok, dan dimatangkan dalam tungku dialektika pemikiran tradisi keilmuan pesantren.
Tidak hanya dalam hal pemikiran, tingkah anak-anak pesantren mampu menggeliatkan gerakan sosial dan kemasyarakatan. Beberapa gerakan kepemudaan dan mahasiswa terutama di kota-kota besar kerap dimotori oleh—Nur Khaliq Ridwan menyebutnya—santri urban (Nur Khaliq Ridwan, 2004: 09). Secara umum, pemikiran santri telah sedemikian mampu memberi khasanah dan kekayaan intelektual terutama dalam bidang pemikiran keislaman.
Pikiran yang kerap mampu memberi warna baru dalam khasanah keislaman itu setidaknya lahir dari tiga hal; (1) kematangan dasar-dasar ilmu agama; (2) kesediaan berpikir mendalam, dan (3) pembacaan kritis atas realitas konteks kekinian. “Kebebasan berpikir”, memang menjadi mainstream dinamika pemikiran santri saat ini. Orang kerap menyebutnya sebagai “kenakalan” cara berpikir santri.
Fenomena JIL yang tukangi oleh Ulil dkk. adalah bukti bagaimana santri mampu memainkan peran-peran agen intelektualnya dengan baik. Dalam kerangka ini, bukan masalah liberal atau tidak corak pemikiran JIL, tetapi llontaran wacana-wacananya kerapkali memunculkan polemik yang pada gilirannya mampu menggelitik para pemikir islam untuk melirik dan memikirkan kembali statusquo pemikiran yang selama ini dipegang. Dominasi pemikiran keislaman oleh para sarjana dahulu sedemikian mengekang gerak gagasan para pemikir, terutama santri dan orang-orang pesantren.
Masih banyak santri merasa terkekang untuk berpikir dan mengekspresikan gagasan pemikirannya. Mayoritas pesantren masih betul-betul menjadi “penjara”, bukan hanya secara fisik dengan aturan yang mengikat, tetapi juga petualangan berpikir santri. Santri yang nekat berekspresi mengembarai rimba intelektualitas dengan bebas dalam dunia pemikiran keislaman seringkali terperangkap pada klaim “santri murtad”. Tak jarang mereka dikeluarkan dari pesantren atau paling tidak dikecam dengan sebutan murtad tadi. Suhaidi RB dicap nakal dan dipandang miring oleh orang pesantren hanya gara-gara skripsinya bertema “dekonstruksi tafsir feminisme”. Sebuah wacana yang tabu dibuka lebar-lebar di dunia pesantren. Apalagi Suhaidi mengekspresikan gagasannya secara liar dan dalam lembaran yang terlalu banyak untuk ukuran skripsi (500 halaman).
Kenyataan demikian sungguh memantik simpati. Potensi santri dalam bidang keagamaan amat disayangkan jika tidak mampu berkembang hanya gara-gara kekangan dan “fatwa” murtad tadi. Padahal, kemajuan pemikiran keislaman sejatinya dimulai dengan sikap berani. Adagium “pintu ijtihad telah tertutup”, ketakutan keliru memaknai dan menafsirkan, perasaan sungkan yang berlebihan pada kiai dan pesantren menjadi batu sandung bagi pergolakan dan dinamitas pemikiran keislaman.
Hingga hari ini, pemikiran santri yang cenderung “bebas” sering menuai polemik di kalangan tokoh dan masyarakat pesantren. Masyarakat pesantren nampaknya masih belum dapat memberikan medan lebih lebar bagi santri untuk berekpresi. Masih saja ada kekangan dan batasan bagi santri untuk berpikir. Padahal, pengekangan model demikian jika teap diamini mesti ditukar dengan kejumudan dan kemandekkan dinamika pemikiran santri di pesantren.
Sejatiknya pesantren membuka ruang dan memberi keleluasaan lebih lebar bagi santrinya untuk berpikir dan mengekspresikan buah pikirannya. Keberanian santi berpikir kritis dalam ranah keilmuan islam dimaknai sebagai penyimpangan apalagi menyematkannya gelar santri murtad. Sebaliknya, jalan Terjal berpikir santri yang dianggap bebas adalah rute menemukan kebenaran dan kemajuan pemikiran pemikiran keislaman di pesantren.