[Tulisan ini pernah dimuat di Tabloid Kominfo Sumenep Jawa Timur. Tanggal penerbitannya sudah lupa. Penulisan kembali hanya dokumentasi dan tambahan wawasan serta medan diskusi saja bagi yang konsen pada perkembangan pesantren.]
Masa keemasan Islam ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Satu hal penting dalam hal ini adalah adanya tradisi mendokumentasikan buah pemikiran dalam bentuk buku atau kitab. Di samping waktu itu memang telah terbiasa menerjemahkan buku-buku pengetahuan dari pelbagai tradisi bangsa-bangsa, umat—tepatnya para intelektual--Islam amat sadar betapa perilaku mendokumentasikan ilmu pengetahuan itu perlu.
Saat itu tradisi menulis berkembang dengan pesat. Meski pada abad-abad kegelapan setelah itu perkembangan ilmu pengetahuan tak seagresif sebelumnya, tetapi tradisi penelitian dan penulisan tetap berjalan.
Di Indonesia, tradisi keilmuan dan menulis itu juga bertahan. Pesantren menjadi gudang dimana tradisi itu dilestarikan. Para intelektual Islam pesantren abad XVII dan XIX, mampu menyaingi hegemoni keilmuan para intelektual Timur Tengah. Beberapa tokoh bisa disebutkan di sini seperti Nawawi Al-Bantani dan Khotib Assambasi yang ahli di bidangnya masing-masing (Abdurrahman Mas’oed, 2006:41).
Sampai pada awal abad dua puluhan, tradisi itu tetap eksis. Masih ditemukan penulis-penulis jebolan pesantren. HAMKA, Natsir, bahkan Soekarno adalah tokoh intelektual penulis yang pernah mengenyam pendidikan pesantren. Tak pelak, pesantren dan orang-orang di dalamnya waktu itu berkontribusi besar terhadap pelestarian tradisi menulis dan dinamika keilmuan Islam.Salah satu faktor yang mendukung tradisi itu adalah sisi ketauladanan dari kiai sebagai figur sentral pesantren.
Nyaris segala laku lampah kiai diikuti dengan taat oleh santrinya. Oleh karena itu, banyak para santrinya yang juga terjun menjadi intektual penulis mengikuti jejak langkah para kiainya yang memang waktu itu produktif menulis. Seiring perkembangan zaman, tampaknya, telah terjadi pergeseran.
Pesantren yang tadinya bisa dibilang mampu melahirkan para intelektual penulis, tampaknya sudah berkurang. Sejak masanya HAMKA dan tokoh intelektual penulis sejamannya, jarang ditemukan para penulis pesantren.
Ada banyak faktor yang melatarbelakanginya. Namun yang paling penting dan perlu dikemukakan di sini ialah keberadaan kiai yang boleh dibilang kurang produktif—bahkan tidak sama-sekali—dalam menulis.
Barangkali fakta itu dilatarbelakangi oleh tersitanya perhatian kiai pada ranah atau persoalan lain serta ada kecenderungan mulai abai terhadap tradisi intelektual dan kepenulisan. Sejak itulah tradisi menulis di pesantren kian terkikis meski ada sedikit dari mereka yang mempertahankan tradisi itu. Faktor keteladanan sangat dominan di pesantren.
Segala hal yang berkaitan dengan perilaku santri selalu mendapatkan rujukannya dalam diri seorang kiai. Sebab ketaatan dan ketundukan itulah, gerak-gerik kiai dan sepak terjangnya nyaris diikuti sepenuhnya oleh santrinya. Begitu pun dalam hal tulis menulis. Oleh karena menurunnya—bahkan tiadanya—ghirah kepenulisan kiai, tampaknya, begitu pulalah yang terjadi pada santri. Jarang ditemukan santri yang konsen dan istiqamah mengembangkan intelektualitas dan mendalami kepenulisan (menjadi penulis).
Fenomena besar ini sempat diekspose oleh koran harian Jawa Pos selama beberapa pekan. Inti dari pengeksposan itu adalah menyeruaknya kerinduan khalayak dan umat pada tulisan-tulisan kiai mengenai cakrawala gagasannya menyikapi kompleksitas problem kekinian.
Babak Baru Kepenulisan di Pesantren
Berbanding terbalik dengan fakta minimnya kiai penulis, akhri-akhir ini banyak bermunculan santri-santri atau alumni pesantren yang menjadi penulis. Ambil contoh di Annuqayah Sumenep Madura. Puluhan bahkan ratusan santri dan alumninya bergelut dalam dunia tulis menulis. Begitu pun yang terjadi di al-Amin Prenduan Sumenep Madura. Telah banyak para lulusannya yang melanjutkan di pelbagai universitas dan sekolah tinggi yang konsen dalam dunia kepenulisan.
Dapat disimpulkan, ghirah kepenulisan orang-orang pesantren kini muncul kembali dikapteni para kiai muda pesantren. Setidaknya, analisis menunjukkan tiga faktor yang melatarbelakngi bermunculannya penulis-penulis muda pesantren. Pertama, akses informasi makin mudah dan luas. Kini, santri tidak lagi dirintangi oleh faktor sarana komunikasi digital untuk menjaring pelbagai informasi dan ilmu pengetahuan. Seolah-olah, komputer, koran, dan Internet seperti situs dan gadget menjadi bagian penting dan lumrah di tengah mereka.
Kedua, kebutuhan aktualisasi diri. Keterbatasan ruang gerak fisik santri disebabkan peraturan pondok, juga membatasi ruang aktualisasi diri mereka dengan lingkungan. Sementara kebutuhan aktualisasi dan komunikasi dengan dunia luar, sebagaimana pendapat Abraham Maslow, tak dapat ditawar-tawar. Menulis, dalam hal ini, menjadi ruang terbuka mengaktualisasikan diri dan berkomunikasi dengan dunia luar. Di samping keseharian santri akrab dengan wacana, ilmu, dan pemikiran yang menjadi modal utama menulis, proses kreatif menulis bagi mereka adalah usaha mengekspresikan diri dan menampakkan eksistensinya di tengah hiruk-pikuk modernitas.
Terakhir, ada indikasi, tumbuhnya semangat menulis disebabkan keteladanan sebagian kiai muda pesantren yang kebanyakan mereka jebolan perguruan tinggi. Kiai muda yang Sejas di kampus bergelut dengan pemikiran dan penulisan menebar ketertarikan santri untuk menirunya.
Bagaimana pun, fenomena tumbuhnya semangat menulis santri berarti searah dengan berkembangnya dinamika pemikiran. Tentunya hal itu mesti diapresiasi sebagai sebuah prestasi untuk kemudian ditiru oleh semua elemen pesantren—khususnya—dan umat Islam secara umum.
Blog Ilmu Keislaman & Kepesantrenan
Masa keemasan Islam ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Satu hal penting dalam hal ini adalah adanya tradisi mendokumentasikan buah pemikiran dalam bentuk buku atau kitab. Di samping waktu itu memang telah terbiasa menerjemahkan buku-buku pengetahuan dari pelbagai tradisi bangsa-bangsa, umat—tepatnya para intelektual--Islam amat sadar betapa perilaku mendokumentasikan ilmu pengetahuan itu perlu.
Saat itu tradisi menulis berkembang dengan pesat. Meski pada abad-abad kegelapan setelah itu perkembangan ilmu pengetahuan tak seagresif sebelumnya, tetapi tradisi penelitian dan penulisan tetap berjalan.
Di Indonesia, tradisi keilmuan dan menulis itu juga bertahan. Pesantren menjadi gudang dimana tradisi itu dilestarikan. Para intelektual Islam pesantren abad XVII dan XIX, mampu menyaingi hegemoni keilmuan para intelektual Timur Tengah. Beberapa tokoh bisa disebutkan di sini seperti Nawawi Al-Bantani dan Khotib Assambasi yang ahli di bidangnya masing-masing (Abdurrahman Mas’oed, 2006:41).
Sampai pada awal abad dua puluhan, tradisi itu tetap eksis. Masih ditemukan penulis-penulis jebolan pesantren. HAMKA, Natsir, bahkan Soekarno adalah tokoh intelektual penulis yang pernah mengenyam pendidikan pesantren. Tak pelak, pesantren dan orang-orang di dalamnya waktu itu berkontribusi besar terhadap pelestarian tradisi menulis dan dinamika keilmuan Islam.Salah satu faktor yang mendukung tradisi itu adalah sisi ketauladanan dari kiai sebagai figur sentral pesantren.
Nyaris segala laku lampah kiai diikuti dengan taat oleh santrinya. Oleh karena itu, banyak para santrinya yang juga terjun menjadi intektual penulis mengikuti jejak langkah para kiainya yang memang waktu itu produktif menulis. Seiring perkembangan zaman, tampaknya, telah terjadi pergeseran.
Pesantren yang tadinya bisa dibilang mampu melahirkan para intelektual penulis, tampaknya sudah berkurang. Sejak masanya HAMKA dan tokoh intelektual penulis sejamannya, jarang ditemukan para penulis pesantren.
Ada banyak faktor yang melatarbelakanginya. Namun yang paling penting dan perlu dikemukakan di sini ialah keberadaan kiai yang boleh dibilang kurang produktif—bahkan tidak sama-sekali—dalam menulis.
Barangkali fakta itu dilatarbelakangi oleh tersitanya perhatian kiai pada ranah atau persoalan lain serta ada kecenderungan mulai abai terhadap tradisi intelektual dan kepenulisan. Sejak itulah tradisi menulis di pesantren kian terkikis meski ada sedikit dari mereka yang mempertahankan tradisi itu. Faktor keteladanan sangat dominan di pesantren.
Segala hal yang berkaitan dengan perilaku santri selalu mendapatkan rujukannya dalam diri seorang kiai. Sebab ketaatan dan ketundukan itulah, gerak-gerik kiai dan sepak terjangnya nyaris diikuti sepenuhnya oleh santrinya. Begitu pun dalam hal tulis menulis. Oleh karena menurunnya—bahkan tiadanya—ghirah kepenulisan kiai, tampaknya, begitu pulalah yang terjadi pada santri. Jarang ditemukan santri yang konsen dan istiqamah mengembangkan intelektualitas dan mendalami kepenulisan (menjadi penulis).
Fenomena besar ini sempat diekspose oleh koran harian Jawa Pos selama beberapa pekan. Inti dari pengeksposan itu adalah menyeruaknya kerinduan khalayak dan umat pada tulisan-tulisan kiai mengenai cakrawala gagasannya menyikapi kompleksitas problem kekinian.
Babak Baru Kepenulisan di Pesantren
Berbanding terbalik dengan fakta minimnya kiai penulis, akhri-akhir ini banyak bermunculan santri-santri atau alumni pesantren yang menjadi penulis. Ambil contoh di Annuqayah Sumenep Madura. Puluhan bahkan ratusan santri dan alumninya bergelut dalam dunia tulis menulis. Begitu pun yang terjadi di al-Amin Prenduan Sumenep Madura. Telah banyak para lulusannya yang melanjutkan di pelbagai universitas dan sekolah tinggi yang konsen dalam dunia kepenulisan.
Dapat disimpulkan, ghirah kepenulisan orang-orang pesantren kini muncul kembali dikapteni para kiai muda pesantren. Setidaknya, analisis menunjukkan tiga faktor yang melatarbelakngi bermunculannya penulis-penulis muda pesantren. Pertama, akses informasi makin mudah dan luas. Kini, santri tidak lagi dirintangi oleh faktor sarana komunikasi digital untuk menjaring pelbagai informasi dan ilmu pengetahuan. Seolah-olah, komputer, koran, dan Internet seperti situs dan gadget menjadi bagian penting dan lumrah di tengah mereka.
Kedua, kebutuhan aktualisasi diri. Keterbatasan ruang gerak fisik santri disebabkan peraturan pondok, juga membatasi ruang aktualisasi diri mereka dengan lingkungan. Sementara kebutuhan aktualisasi dan komunikasi dengan dunia luar, sebagaimana pendapat Abraham Maslow, tak dapat ditawar-tawar. Menulis, dalam hal ini, menjadi ruang terbuka mengaktualisasikan diri dan berkomunikasi dengan dunia luar. Di samping keseharian santri akrab dengan wacana, ilmu, dan pemikiran yang menjadi modal utama menulis, proses kreatif menulis bagi mereka adalah usaha mengekspresikan diri dan menampakkan eksistensinya di tengah hiruk-pikuk modernitas.
Terakhir, ada indikasi, tumbuhnya semangat menulis disebabkan keteladanan sebagian kiai muda pesantren yang kebanyakan mereka jebolan perguruan tinggi. Kiai muda yang Sejas di kampus bergelut dengan pemikiran dan penulisan menebar ketertarikan santri untuk menirunya.
Bagaimana pun, fenomena tumbuhnya semangat menulis santri berarti searah dengan berkembangnya dinamika pemikiran. Tentunya hal itu mesti diapresiasi sebagai sebuah prestasi untuk kemudian ditiru oleh semua elemen pesantren—khususnya—dan umat Islam secara umum.
Blog Ilmu Keislaman & Kepesantrenan