Pendidikan pesantren, keilmuan agama, pengetahuan umum.
Kebetulan penulis mengambil skripsi tentang pendidikan pesantren dan beliau adalah referensi terbaik bagi penulis. Semoga Allah merahmati beliau dengan ilmunya yang bermanfaat. Allahummagfir lahu war hamhu wa afihi wa'fu anhu, amin.
Pertumbuhan dan perkembangan Islam kaitannya dengan pesantren ibarat sayur dengan garamnya. Keduanya menyatu dan tak bisa dipisahkan. Tidak hanya itu, kenyataan sejarah memosisikan pesantren sebagai Indonesian indegious culture atau Clifford Geertz menyebutnya sebagai subkultur masyarakat Indonesia.
Kesatuan pesantren dan masyarakat ditunjukkan oleh peran pesantren yang integral dan membumi. Sejak kemunculannya, pesantren konsisten menjadi basis bagi bergulirnya sebuah proses social development.
Bertolak dari posisi yang strategis itu, tanggungjawab pesantren kini makin berat. Kemajuan zaman dengan pelbagai dampak yang menyertainya menuntut kesediaan pesantren untuk cerdas menjawabnya.
Perubahan di semua level kehidupan meniscayakan pula perubahan besar-besaran di segala aspek peradaban manusia. Kenyataan hari ini, salah satunya, perubahan zaman telah menggeser paradigma dan nilai keberagamaan (Islam) ke titik terendah kesadaran manusia. Orang nyaris tak lagi melandaskan perilakunya pada nilai-nilai keislaman. Pada gilirannya, hal itu berujung pada adanya distorsi sikap dan perilaku sebagai sebuah bangsa yang religius dan beradab.
Dalam buku ini, Tijani memilah problem abad-21 pada tiga problem besar. Pertama, pergeseran nilai-nilai dan moralitas hidup. Tengah terjadi sebuah proses distorsi nilai dan moral umat. Kini, moralitas dan nilai-nilai agama hampir tidak "populer" dan tak jarang malah dianggap "kuno". Nilai luhur agama dan bangsa, lambat tapi pasti, digeser oleh nilai-nilai dehuman dari kapitalisme, globalisasi, dan westernisasi.
Akibatnya, terjadi perubahan pola hidup—yang merupakan problem kedua. Umat nyaris kehilangan jati-dirinya sebagai bangsa beradab yang menunjung tinggi nilai agama serta nilai-nilai ketimuran. Tampaknya, perilaku umat hari ini tidak lagi mencerminkan sebagai sebuah bangsa yang religius dan beradab. Tindak kekerasan, maraknya kenakalan remaja, narkoba, dan prostitusi, ditambah lagi mengguritanya imitasi terhadap budaya barat secara besar-besaran yang nyaris tanpa filter, menunjukkan wajah distorsi sikap keberagamaan dan, bahkan, kemanusiaan
Ketiga, krisis kepemimpinan. Tampaknya, masyarakat kini dihadapkan pada realitas bobroknya kepemimpinan. Para wakil rakyat kini lebih mengedepankan kepentingan pribadinya daripada memperjuangkan aspirasi masyarakat. Tak hanya dalam ranah pemerintahan, para pemimpin kultural masyarakat pun kerap tak lagi amanah. Hal itu ditunjukkan oleh perilaku beberapa oknum politisi yang doyan menggadaikan massa (masyarakat) demi keuntungan pribadi. Fenomena itu pula tak jarang dilakukan oleh seorang tokoh agama.
Dalam kerangka besar kenyataan inilah, pesantren dituntut peran dan tanggungjawabnya menyumbangkan kontribusi konkret terhadap perbaikan bangsa. Keterpurukan bangsa saat ini menuntut pesantren untuk mengambil peran strategis dalam membantu menyelesaikannya. Kompleksitas problem kemasyarakatan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.
Tantangan dan tanggungjawab yang makin besar, “menghantui” masa depan pesantren: apakah tetap mampu eksis berperan sebagaimana keberadaanya dulu yang disegani dan diperhitungkan dalam sejarah perjalanan bangsa?
Memang, secara mendasar, tugas utama pesantren ialah mendidik umat dan membangun generasi ulama. Sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia, pesantren adalah tempat dimana intelektualitas diasah dan moralitas-spiritualitas didalami dan dipraktikkan. Peran pesantren yang demikian itu guna meretas usaha perbaikan melalui pembentukan akhlak dan secara terus menerus melahirkan generasi bermutu (insan kamil), calon aktor-aktor di tengah masyarakat nantinya.
Namun tidak hanya itu, realitas menuntut peran lebih pesantren daripada sekedar lembaga pendidikan. Eksistensi pesantren dituntut memberi bias konkret terhadap problem nyata keseharian umat. Satu lagi, ciri utama pesantren, di samping istiqamah membangun umat melalui pendidikan, juga respon dan tanggap terhadap persoalan riil kemasyarakatan dan kebangsaan. Pesantren dituntut menjadi motor bagi terciptanya sebuah proses social development yang sehat dan dinamist.
Analisis K. Tijani di atas menunjukkan betapa bobroknya bangsa ini. Dan secara tidak langsung menunjukkan kegagalan dunia pendidikan kita membangun generasi bangsa. Sebagai tokoh pesantren (pemikir sekaligus praktisi), "kekusutan" itu menghadirkan keprihatinan tersendiri bagi K. Tijani. Dalam merespon problem keagamaan dan kebangsaan di atas, penekanan pada fungsi dan peran pesantren menjadi prioritas mengingat posisi pesantren yang masih strategis dalam masyarakat.
Tampaknya kini peran dan fungsi pesantren belum sepenuhnya dilaksanakan. Sejarah panjang perjuangan pesantren dalam pelbagai ranah mengkristal pada nilai-nilai tradisional unik dan membumi. Nanum belum sepenuhnya dijaga dan dilestarikan. Pesantren semestinya menjadikan jargon "al-muhafadlatu 'ala qadim al-salih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah" sebagai semangat dan prinsip dalam menghadapi tantangan zaman. Dan, sebenarnya, masa depan pesantren ditentukan oleh sejauhmana sumbangsihnya terhadap sikap keberagamaan serta, secara umum, terhadap perbaikan dan kemajuan bangsa.
Dalam domain wacana perbaikan dan kemajuan pesantren, buku ini bergulat membincang tantangan dan tanggungjawab pesantren sekaligus menguraikannya dan menghadirkan solusi konkret yang layak diapresiasi sebagai pencerahan bagi dunia pesantren. Saking konkretnya gambaran penulis buku ini seputar pesantren, pembaca seolah menikmati “ramalan” sebuah masa depan pesantren. Membaca buku ini, pembaca diajak berpikir realistis dan, bahkan, praktis bagaimana memulai pembaharuan di pesantren.Judul buku : Masa Depan Pesantren;
Agenda Yang Belum
Terselesaikan
Penulis. : (alm) K.H. Tidjani
Djauhari
Penerbit . : TAJ Publishing, Jakarta
Tahun terbit. : Februari, 2008
Tebal halaman: xi + 212 halaman