Blogger Jateng

Mahasiswa PTAI dan Tradisi Studi Naskah

[Tulisan ini pernah dimuat di Radar Madura pada tahun 2008. Tanggal dan bulannya sudah lupa. Penulisannya kembali sebagai dokumentasi pribadi dan semoga dapat mewarnai wacana kepesantrenan]

Muslim dan Tradisi Intelektual


Islam bukan melulu dianggap agama atau nilai, tapi juga sebagian menganggapnya sebagai tatanan kebudayaan. Rentang perjalanan Islam hingga hari ini menoreh catatan-catatan sejarah penting. Sebab ternyata Islam menyumbang keberlangsungan kemajuan dan memulai kembali pencerahan. Ketika Barat terjerembab dalam hegemoni gereja yang berimbas pada kemandekan tradisi intelektual, Islam hadir dengan nafas kebebasan dan pencerahan di segala bidang pengetahuan.
Beberapa abad kemudian Islam menciptakan peradaban emasnya di mana pelbagai ilmu pengetahuan mengintegral di hampir hati setiap muslim (Syafiq Mughni, 2002:02). Saat itulah peradaban muslim menjadi jembatan terpeliharanya tradisi filsafat yunani sampai bertahan hingga hari ini. Para intelektual muslim ‘berbondong-bondong’ menerjemahkan teks Yunani ke dalam bahasa arab. Pada mulanya, khalifah abasiah menyewa non-muslim menerjemahkan teks-teks itu. Namun kemudian banyak filosof yang langsung menukangi pekerjaan itu.
Tradisi itu didorong setidaknya dua hal. Pertama, apresiasi positif umat muslim terhadap ilmu pengetahuan. Hal itu didorong oleh cara pandang yang berpijak pada landasan Alqur’an dan Hadits. Kedua prinsip Islam itu sangat mendorong dan menganjurkan—bahkan mewajibkan--umatnya untuk menuntut ilmu. Kedua, penghargaan atau apresiasi masyarakat dan penguasa terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi. Penguasa abbasiyah waktu itu sangat respond an minatnya tinggi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Perpustakaan terbesar dan universitas tertua al-Nidzam segera didirikan di jantung kota Bagdad. Dua pusat studi itu menjadi ikon dari sikap muslim terhadap ilmu pengetahuan. Para intelektual mendapatkan penghargaan layak tidak hanya berupa penghormatan atas karya dan kreativitas mereka tetapi juga diperhatikan secara materi. Tak heran jika kemudian muncul dan bertebaran tokoh-tokoh intelektual muslim yang menyejarah bahkan kredibilitasnya masih dikagumi hingga hari ini. Sebut saja Ibn Sina, al-Farabi, Ibn Taimiyah, Ibn Thufail, dan lainnya di samping juga pakar-pakar ilmu keIslaman yang tak terhitung banyaknya. Bahkan, ulama atau intelektual multidisipliner yang kini nyaris mustahil ada pun dapat ditemukan kala itu.
Di abad kegelapan pun, kecemerlangan intelektual Islam tak sepenuhnya meredup. Tradisi intelektual dan kajian teks, penelusuran sumber ilmu, dan penggalian ide dan gagasan keilmuan yang diabadikan dalam buku dan makalah-makalah masih terjaga. Meski pada level tertentu masih ‘kalah terang’ dibanding masa sebelumnya itu (Syafiq Mughni, 2002:04). Pada abad yang kerap disebut kegelapan itu pula, di pelosok dunia timur, tradisi intelektual muslim masih berlanjut dan menemukan gairahnya di pesantren-pesantren di Nusantara.
Pesantren dan Turats
Masifitas gerakan intelektual di pesantren cukup tampak. Bahkan di akhir abad 19 dan awal abad 20, beberapa intelektual pesantren ‘merajai’ dan menyaingi hegemoni percaturan wacana keislaman Timur Tengah. Sebut saja Syekh Khatib assambasi, Syekh Nawawi Albantani (1813-1897), dan Mahfuz at-Tirmisi (w. 1919). Kedua tokoh yang disebut terakhir dipandang sebagai guru intelektual tradisi pesantren. Sementara Syekh Nawawi Albantani (1813-1897) di Makkah dan Madinah mendapat julukan sayyid ‘ulama hijaz (Abdurrahman Mas’oed, 2004:19).
Tradisi intelektual pesantren tidak hanya tercermin dari penguasaan ilmu pengetahuan saja tetapi juga tradisi menulis yang mengakar kuat. Syekh Nawawi Albantani (1813-1897) salah satunya telah melahirkan puluhan bahkan ratusan karya yang di antaranya menjadi rujukan pokok yang dipelajari di pesantren-pesantren. Tradisi ini dipertahankan secara turun temurun oleh pesantren (kiai dan santri) meski kini tradisi itu tak begitu tampak oleh karena fragmentasi kepentingan yang beragam yang terjadi di banyak pesantren.
Di pesantren, terbangun tradisi diskusi melalui halaqah-halaqah kecil. Dan lagi, transmisi ilmu pengetahuan tak hanya melalui penyampaian seorang guru yaitu kiai atau ustadz, tetapi juga ada istilah sorogan di mana santri diberi keleluasaan memaknai dan mengkaji teks turats. Tradisi itu tentu menuntut peran aktif santri untuk belajar membaca, menelaah, mengaji, dan mengambil intisari dari turats. Tradisi itu sungguh menjadi embrio kritisisme dan progresivitas pemikiran kaum santri. Di kemudian hari, fakta menunjukkan dinamika pemikiran santri yang cukup progresif dan responsif terhadap perkembangan dunia kekinian. Hingga ide dan gagasan cemerlang mereka, dalam sudut pandang tertentu, kadang malah dianggap menghawatirkan dan mengancam eksistensi Islam itu sendiri.
PTAI dan Dinamika Wacana Keislaman
Embrio itu terus bergulir bak bola salju. Sejak mencuatnya tradisi ekspresif ide dan gagasan progresif anak muda, semisal Ahmad Wahib, puluhan tahun yang lalu, kini mayoritas mahasiswa mempraktikkannya. Fenomena ini menggembirakan di mana tradisi intelektual, meski dengan pelbagai ekspresinya yang kontroversial, makin subur. Dalam percaturan wacana keagamaan dan sosial pula santri mengambil posisi yang cukup penting dan amat diperhitungkan.
Fenomena—meminjam bahasa Nur Khaliq Ridwan--santri urban mengurita kini. Para alumnus pesantren marak melanjutkan di pendidikan tinggi terutama PTAI. Mereka melek dengan basis kultural serta kemampuan keilmuan yang lumayan mapan dalam wacana keislaman. Mereka dapat dikatakan anak-anak petani dan para kiai kampung. Sebab basis social itu juga gerakan mereka cukup massif dan diperhitungkan.
Perkawinan antara basis keilmuan pesantren dengan daya kritisisme ala Mark melahirkan wajah perspektif keislaman yang memihak. Sebuah gerbong yang secara general memaknai islam lebih sebagai nilai atau agama yang revolusioner-filosofis. Sebuah corak pemikiran yang membumi dengan gerakan nyata.
Pada kenyataanya, hasil perkawinan itu melahirkan para intelektual muda islam. Semua itu lahir dari tradisi diskusi-diskusi kecil ‘jalanan’ di pojok-pojok warung kopi atau di sudut-sudut kampus. Diskusi-diskusi yang dilakukan juga tak terbatas pada persoalan keislaman saja tetapi melebar pada persoalan social, ekonomi, politik, dan budaya. Para intelektual muda itu makin kokoh gerakan pemikirannya ketika melandaskan pelbagai persoalan itu pada otoritas sumber valid agama. Terjadi penafsiran besar-besaran atas doktrin teologis dan landasan keberagamaan menuju yang lebih revolusioner. Dalam politik, masifitas gerakan pemikiran itu berbuah reformasi ’98 dengan jatuhnya status quo dan dibukanya era keterbukaan.
Sebuah loncatan perjalanan bangsa telah terjadi. Tentunya itu terjadi tidak berangkat dari ruang kosong. Akan tetapi melalui lika-liku kajian, perenungan dan perombakan paradigma sikap keberagamaan di kalangan intelektual muslim. Dalam dinamika itu, aktivitas studi naskah dan pembacaan utuh pelbagai literature dari banyak disiplin ilmu di kalangan mahasiswa dan santri menjadi ‘ruh’ yang sangat penting.
Studi Naskah: Sebuah Kemestian
Diskusi-diskusi mendalam seputar problem kekinian berangkat dari sejarah panjang yang dapat ditemukan dalam pelbagai literatur. Makanya, studi naskah menjadi keniscayaan sebagai sebuah élan dimana intelektualitas diasah dan kedewasaaan sikap dimatangkan. Berikut beberapa pokok pondasi dasar mengapa studi naskah menjadi penting. Pertama, naskah atau teks ialah basis segala ilmu pengetahuan. Teks atau naskah merupakan alat transmisi ilmu pengetahuan yang sangat efektif. Dengan mudah siapa pun dapat mengambil pelajaran dari sejarah atau belajar tentang ilmu pengetahuan dari naskah. Rentang waktu panjang tak menghalangi orang mempelajari sesuatu ketika apa yang menyejarah tertorehkan dalam teks-teks dan naskah.
Kedua, naskah atau teks menjadi media pentransmisian budaya dan peradaban. Di dalam naskah, terdapat sekian intisari ilmu pengetahuan yang dapat dijadikan titik tolak kemajuan dan perbaikan dalam bidang ilmu pengetahuan. Akan nampak lucu andai mahasiswa, apalagi berbasis pesantren seperti kebanyakan mahasiswa PTAI, jika inkar dan enggan mengkaji khasanah itu melalui teks atau naskah.
Ketiga, ragam bahasa yang dituturkan khasanah peradaban melalui teks mendorong mahasiswa menguasai bahasa asing. Misalnya saja, untuk belajar filsafat barat tentu butuh perangkat bahasa inggris, prancis, belanda, dan lainnya. Begitu pun untuk belajar islam dan peradaban timur tengah maka kemampuan bahasa arab dan ibrani menjadi kemestian. Nah, kemudian juga kebiasaan mengkaji naskah teks asing selain mengembangkan kemampuan bahasa asing juga diskusi-diskusi yang dilakukan tentu merupakan aktivitas mengasah ketajaman berpikir dan menganalisis. Dan itu merupakan sebab keempat mengapa studi naskah perlu dibudayakan di kalangan mahasiswa.
Kelima, secara umum studi naskah searah dengan usaha memperluas pengetahuan dan memperkaya sudut pandang dalam memotret persoalan kekinian.
Dari itu, mahasiswa mesti giat mengkaji dan menggali ilmu pengetahuan melalui pembacaan-pembacaan naskah dari berbagai kebudayaan dengan ragam bahasa. Sebab hanya dengan cara itu mereka mampu memahami secara utuh dunia global.
Pada dasarnya, semua naskah atau teks mengandung ilmu pengetahuan. Namun, bagi mahasiswa PTAI dan santri, teks atau naskah keagamaan klasik sangat penting untuk lebih dikuasai. Hal itu dalam rangka memperkuat basis pengetahuan kegamaan untuk kemudian disinkronkan dengan konteks kekinian. Mahasiswa yang punya basik ilmu pengetahuan klasik keagamaan terbukti lebih berkompeten dan mampu untuk berkembang menjadi seorang intelektual. Tanpa modal itu, ilmu pengetahuan yang dikuasai menjadi dangkal dan karbitan.
Fenomena mahasiswa PTAI terutama yang di kota-kota besar yang cukup massif dalam gerakan intelektual nyatanya memiliki dasar kemampuan di bidang keilmuan klasik. Mereka kemudian dengan nalar ala mahasiswa yang kritis mampu mendialogkannya dengan ilmu dan disiplin yang lain seperti social, budaya, ekonomi, dan politik secara global. Tradisi yang demikian itu menjadi embrio bagi bertumbuhkembangnya para intelektual-intelektual muda muslim.
Pengembangan tradisi studi naskah di kalangan mahasiswa tentu harus dilandaskan pada epistemology dan paradigma yang berbeda dan lebih progresif. Maksudnya, pembacaan yang dilakukan harus lebih mendalam dan menyeluruh. Sebab itu metode kajian atau studi juga niscaya dilakukan dari banyak perspektif atau sudut pandang. Misalnya, teks-teks keagamaan tidak hanya dibaca dari sudut teologis tetapi juga social-antropologis. Tentunya, makin banyak perspektif yang digunakan dalam aktivitas kajian akan lebih baik dan melahirkan pandangan yang utuh dan tidak parsial.
Metode lain juga dapat melalui komparasi naskah atau teks. Pelbagai teks dibandingkan dan dikritisi dengan seksama untuk melahirkan gagasan baru yang lebih cemerlang. Pembacaan monoton dan hanya dari satu sudut pandang hanya akan melahirkan orang-orang dengan pemahaman yang sempit dan ideologis. Tentu hal itu tak baik mengingat dehumanisasi tanpa disadari kadang muncul dari sikap yang demikian itu.

Baca juga: Artikel: Belajar Menghargai Anak Didik

Walhasil, urgensi studi naskah merupakan langkah awal mentradisikan kajian mendalam untuk melahirkan generasi intelektual muslim yang mumpuni dan mampu memainkan peran strategis di kancah global. Harapan besar bahwa para intelektual muda akan lahir dari sebuah tradisi alot dan sabar mengaji dan memahami pelbagai persoalan secara utuh. Intelektual tentu tidak lahir instant dan asal-asalan tanpa pernah mengkaji dan menguasai ilmu pengetahuan. Apalagi kini bermodal ilmu keagamaan saja tidak cukup. Transformasi ilmu keagamaan ke dalam aksi konkret setelah sebelumnya melewati proses dialog dengan pemahaman atas realitas sesunggunya akan sangat efektif untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Sekian.