Blogger Jateng

Bagaimana Menjadi Ayah Yang Baik Bagi Anak

Bagaimana figur seorang ayah dalam perspektif Islam, bagaimana memosisikan diri seorang ayah terhadap anak agar ada keseimbangan / harmoni dalam keluarga demi pendidikan anak.

Anak adalah amanah Tuhan yang harus dijaga dengan baik. Anak adalah darah daging, penerus kelangsungan keluarga. Anak adalah buah cinta dan penguat tali ikatakan pernikahan.

Pada diri anak tergambar kekuasaan Tuhan. Betapa Tuhan menitipkan seorang anak agar ayah dan ibunya mengasuh dan mendidiknya menjadi anak shaleh. Bukan malah menelantarkannya. 

Pada faktanya, tak sedikit orangtua yang meremehkan kehadiran anak. Mereka di antaranya tidak sadar bahwa mendidik anak adalah yang terpenting di banding apapun. Dalam firman Allah, "qu anfusakum wa ahlikum nara", jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Perintah menjaga diri dan menjaga keluarga (yang di dalamnya termasuk istri dan anak) lebih penting dan didahulukan daripada menjaga umat sekalipun. Urgensi keluarga (baca: anak) membuat posisi seorang ayah menjadi sangat penting. Ayah sebagai kepala keluarga mesti punya strategi dan sikap yang jelas terhadap anak. Nah, ada banyak kasus kekeliruan seorang ayah memosisikan dirinya di tengah keluarga dan di mata anaknya sendiri. 

Identifikasi pribadi saya, kekeliruan terletak pada tiga sikap seorang ayah. Pertama, ayah yang memanjakan anaknya. Segala keinginan anaknya dipenuhi tanpa filter sedikitpun. Sikap itu dirasa kurang tepat. Sebab lambat laun anak menjadi manja, ketergantungan pada ayahnya. Anak seperti ini biasanya susah untuk mandiri dan dewasa. Sebab segala problem hidup yang dihadapinya selesai oleh kehadiran seorang ayah. 

Kedua, ayah menerapkan sikap keras dan kaku. Artinya, berkebalikan dengan yang pertama. Permintaan dan tuntutan anak tak satupun atau banyak yang tidak dipenuhi dengan berbagai alasan. Bahkan ayah cenderung memilih sikap marah dan bahkan membentak permintaan seorang anak. Hal seperti ini berbahaya. Sebab secara psikologi akan memunculkan rasa takut yang besar dan rasa minder dalam diri anak. Sifat ini menjalar pada kehidupab sosial anak hingga dibawa dewasa. Dalam hal ini penting kita definisikan bahwa keras itu berbeda dengan tegas. Keras bukan berarti tegas. Sebab ketegasan bermakna konsisten dan tak mudah berubah-ubah pikiran. 

Ketiga, sikap apatis ayah terhadap anak. Segala sesuatu yang dilakukan anak tak direspon dan ditanggapi dengan baik oleh orangtua dalam hal ini ayahnya. Akibatnya anak merasa dipinggirkan dan diacuhkan. Lanbat laun ini akan memperlebar jarak anak dengan ayah secara psikologi. Parahnya, jika dibiarkan, rasa hormat dan takdzim anak terhadap ayahnya akan mengikis bahkan hilang. Kasus perlawanan anak terhadap ayahnya bahkan hingga berani adu fisik adalah disebabkan oleh hal itu. 

Ada baiknya memang peran-peran ini didiskusikan dengan matang oleh ayah dan ibu. Jangan anggap remeh hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan psikologi maupun fisik anak. Ada pembagian peran yang jelas antara ibu dengan ayah, antara ibu dengan anak, antara ayah dengan anak, antara anak dengan anak yang lain. Sebab mengabaikan hal itu sama saja dengan membiarkan kegagalan pendidikan mereka semakin bertambah. 

Bahwa anak kita memang bukan kita itu benar. Setiap anak punya bakat dan haknya sendiri untuk menentukan siapa dan akan menjadi seperti apa nanti
nya. Namun peran orangtua tetap dibutuhkan bukan untuk mendikte tetapi membimbing dan memastikan perkembangan anak ada pada jalur yang benar secara agama. Agar kelak ia menjadi anak yang shaleh shalehah.