[Tulisan ini pernah dimuat di Tabloid Kominfo Sumenep Madura. Pada medio 2008. Sepuluh tahun silam hingga tulisan ini dimuat di blog yang sekarang sedang pembaca nikmati. Penulisannya kembali adalah dokumentasi penulis semoga menyegarkan pemahaman kita semua]
Mendidik, tentu berbeda dengan mengajar. Karena pendidikan mesti dipahami sebagai proses yang tidak melulu mewariskan pengetahuan (transfer of knowledge) tetapi juga bagaimana membimbing anak didik agar menjadi generasi yang cerdas, kreatif, santun, dan berbudi luhur.
Ilmu psikologi meyakini bahwa anak didik bukan gelas yang harus diisi, tapi api yang harus dinyalakan. Teori tersebut semakin memperkokoh keyakinan bahwa pendidikan juga merupakan proses untuk menghidupkan api cinta dan semangat dalam diri anak untuk terus mencari ilmu tanpa henti.
Atas dasar itu pula, proses pendidikan semestinya diarahkan pada pembangkitan daya kreativitas anak dalam mengeksplorasi sekaligus mengolah informasi yang didapat sembari memelihara daya kritis anak demi menjaga validitas informasi itu sendiri. Sementara kreativitas akan tumbuh ketika ada ruang yang cukup luas untuk berekspresi “sesuka hati”. Dan komunikasi timbal balik yang seimbang antara anak didik dengan pendidik mampu menyediakan ruang yang dibutuhkan itu.
Dalam situasi ini, guru sejatinya mengambil posisi sebagai teman (partner) yang istiqamah membimbing dan sabar mendorong anak didiknya guna memastikan bahwa kreativitas dan kesungguhan anak didiknya itu tetap terjaga. Guru dituntut untuk konsisten pada posisinya sebagai fasilitator dan motivator. Karena dengan menjaga perannya itu, berarti guru telah berhasil memandang anak didik bukan sebagai objek, tapi subjek. Sementara menghargai siswa sebagai pribadi utuh dan memahami pluralitas potensi yang dimilikinya merupakan langkah awal keberhasilan sebuah proses pendidikan dan pembelajaran.
Bertolak pada pemahaman bahwa anak adalah pribadi independen dengan ragam ciri dan karakteristik yang dimilikinya, membincang bagaimana semestinya posisi guru menjadi amat penting. Pluralitas kemampuan, sifat, watak, dan karakter anak menuntut kecerdasan guru dalam mengolah situasi pembelajaran agar apa yang disampaikan mampu dicerap oleh semua anak. Kelas menjadi labolatorium dan miniatur dimana kemampuan memenej dan mengkondisikan seorang guru diuji.
Demi menjaga kondisi proses pembelajaran, peran guru di dalam kelas menjadi strategis dan menentukan. Karena itu, bagaimana sebenarnya menjadi seorang guru yang mampu memegang perannya sebagai fasilitator dan motivator dengan baik?
Setidaknya ada empat hal yang perlu menjadi catatan penting bagi seorang guru. Pertama, berusaha mengesampingkan egoisme pribadi. Sikap mendikte, cuek terhadap pendapat anak, jarang kompromi saat memutuskan sesuatu yang terkait dengan proses pembelajaran, menunjukan sikap yang otoriter. Kalau sampai situasi ini dibiarkan, berarti nalar daya kreativitas dan keberanian siswa mengemukakan pendapat, terkerangkeng dan terkikis habis. Akibatnya, siswa menjadi minder dan takut untuk mengacungkan tangannya. Kesimpulannya, egoisme guru, disadari atau tidak, menimbun potensi anak didik, bahkan mengerdilkan jiwanya.
Kedua, memprioritaskan penghargaan (reward) daripada hukuman (punishment). “Dosa” anak didik harus diteropong dalam bingkai kepolosan dan ketidaktahuan mereka, bukan kepicikan dan kemunafikan layaknya orang dewasa. Kekeliruan anak didik masih dianggap wajar jika terpaksa kekeliruan itu harus ditukar dengan hukuman selama hukuman itu masih mengindahkan sisi humanitas dan edukatifnya, bukan malah mengedepankan kekerasan, seperti yang selama ini lazim dilakukan. Bagaimana pun, hukuman yang miskin nilai edukatif dan sarat kekerasan—baik fisik atau psikis—samasekali bukan solusi, bahkan bencana.
Saat ini, perlu dikembangkan sikap yang lebih memprioritaskan penghargaan anak didik atas prestasi sekecil apapun bukan malah menekan, memaksa, dan menghukum mereka atas kesalahan yang kadang sepele. Apalagi “ganjaran” itu “ditegaskan” dalam bentuk premanisme dan kanibalisme yang meminggirkan eksistensi kedirian anak didik sebagai manusia utuh. Karena jika kekerasan yang dijadikan solusi, kekerdilan dan kemandekan perkembangan potensi anak didik akan menjadi nyata. Rudolf Dreikurs dalam tulisan Tukiman mengukuhkan: semetinya bukan paksaan dulu yang dimunculkan, tapi stimulasi yang lebih dibutuhkan. Dan, sikap menghargai adalah cara merangsang yang paling efektif.(Kompas, 29/11/07)
Ketiga, menciptakan situasi belajar yang menyenangkan. Guru dituntut untuk cerdas membaca situasi dan lihai “menyetir” suasana pembelajaran guna memastikan proses pembelajaran berjalan dengan baik dan terarah. Guru semestinya mahir membingkai pembelajaran dalam suasana kegembiraan yang lepas dan tanpa beban. Gagasan guru dalam memfasilitasi kehendak siswa guna memelihara kegembiraan anak didik bisa diejawantahkan melalui, misalnya, pembelajaran yang dilakukan di luar kelas. Cara ini cukup efektif saat anak didik merasa jenuh lantaran mata mereka sesak dengan formalitas situasi kelas. Lebih jauh lagi, “Mengutak-atik” tempat belajar, cara penyampaian, dan menyelingi proses pembelajaran dengan kuis, cerita, atau humor, dipandang mampu memelihara antusiasme dan keriangan anak didik. Karena kegembiraan anak didik plus pendidik menjadi indikasi awal bahwa tujuan pembelajaran akan lebih mudah untuk dicapai. Y.B. Mangunwijaya menyebut bahwa joyful learning menjadikan proses pembelajaran lebih kondusif dan sarat semangat untuk bekerjasama secara partisipatif.(Jawa Pos, 22/07/07)
Sementara itu, ketauladanan seorang guru juga tidak boleh diremehkan. Perilaku guru menyumbang efek yang dahsyat terhadap perkembangan psikologi anak didiknya. Disamping itu, perilaku guru juga kerapkali menjadi referensi paling valid bagi anak didik untuk menjustifikasi setiap perbuatan yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Sikap “latah” seorang anak mengimitasi perilaku guru dan sikap hormat mereka yang bertolak pada kharisma seorang guru, menuntut guru untuk ekstra “hati-hati” mempertontonkan perilakunya di hadapan anak didik. Integralnya pandangan, ucapan, dan sikap guru menjadi keniscayaan yang tak bisa ditawar. Karena inkonsistensi antara ketiganya itu merupakan aib di mata siswa sekaligus mengganggu konsepsi dasar bahwa guru adalah orang yang mesti digugu dan ditiru.
Karena itu, wajib bagi para guru, untuk membiasakan budaya mengajak sekaligus memberi contoh dalam bentuk perilaku, bukan melulu memerintah. Karena guru bukan raja, dan anak didik juga bukan prajurit.