Bismillah. Kali ini saya akan berbagi tips pendidikan anak. Tulisan saya berdasarkan referensi agama, nasehat dan pitutur orangtua maupun dari pengalaman sehari-hari.
Sudah mafhum bahwa pendidikan anak yang terpenting adalah di dalam keluarga. Keluarga dapat dipandang sebagai lembaga non formal yang membentuk watak dan karakter anak. Menanamkan nilai-nilai positif memang menjadi kewajiban orangtua. Hatta Pendidikan lanjutan di luar pendidikan anak juga adalah sebagai tanggungjawab dari orangtua.
Peribahasa bilang "anak tuh ya tergantung orangtuanya bagaimana", "buah mangga jatuh takkan jauh dari pohonnya". Peribahasa demikian benar adanya. Sebab bagaimana pun anak adalah titisan darah dari orangtuanya. Secara tidak langsung genetika dan karakter orangtuanya diwariskan meski tidak secara keseluruhan. Pemahaman ini penting diketahui agar nanti kita tidak salah paham dan dapat lebih bijak lagi dalam menghadapi anak kita sendiri.
Oleh karena itu, jika ada yang bertanya, kapan memulai mendidikan anak? jawabannya bukan sejak lahir atau sejak dalam kandungan; akan tetapi jawabannya sejak ibu dan ayahnya masih anak-anak atau muda. Sebab secara tidak langsung, genetika ibu dan ayahnya diwariskan. Mengapa demikian? betapa watak dan perilaku orangtuanya sedari muda itu juga berpengaruh pada anaknya. Maka dari itu, beberapa catatan saya perlu diperhatikan dalam frame mendidik anak dan menjadikan seorang anak menjadi shaleh dan shalehah.
Pertama, sejak sebelum menikah kedua orangtuanya hendaknya adalah orang-orang baik. Gambaran orang yang taat kepada agama dan patuh pada hukum. Ini juga berpengaruh nanti pada watak anak di kemudian hari. Salah jika ada orang yang beranggapan bahwa masa muda seseorang tidak berpengaruh pada akhlak anak. Tentu sangat berpengaruh. Perilaku buruk ayah atau ibunya di masa muda akan berpengaruh pula pada anaknya. Pengecualian jika perilaku buruk itu diperbaiki atau dihapus dengan pertaubatan, taubat nasuha.
Kedua, pada saat kedua orangtuanya (maaf) bersenggama. Tentu, sebagai orang yang beragama, diajarkan doa-doa termasuk dalam hal ini. Maksudnya bahwa aktivitas bersenggama tidak dicampuri oleh syetan atau makhluk lain yang negatif. Jika tanpa doa maka, naudzubillah, sedikit banyaknya anak dipengaruhi oleh watak negatif. Sebab, syetan juga ikut mencampuri urusan suami kepada istrinya dalam proses pembuahan sperma pada ovum. Naudzubillah.
Ketiga, pada saat dalam kandungan selama sembilan bulan. Masa-masa ini sangat penting dan harus diperhatikan. Misalnya saja, orang yang hamil dianjurkan banyak membaca alqur'an dan shalawat, agar si janin terasah emosinya dengan hal positif sejak dalam kandungan. Atau misalnya si Ibu menghindari banyak tidur dan lebih banyak menyibukkan aktivitas pekerjaan rumah dengan telaten. Hal itu dipercaya agar si anak tidak memiliki watak malas. Meskipun aktivitas yang saya maksud harus dibatasi pada kegiatan ringan bukan kegiatan berat yang membahayakan si janin secara fisik.
Keempat, ketika telah lahir dan berkembang. Hendaknya orangtua dan orang-orang yang ada di sekitarnya memberikan contoh baik. Baik dalam perkataan, dialog, perbuatan, dan lain sebagainya. Sebab pada masa itu si anak sangat tajam menyerap dan mengadopsi segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Contoh yang baik dibutuhkan agar yang diadopsi oleh anak adalah hal yang baik yang kemudian akan menjadi kebiasaan dan karakter anak di kemudian hari. Dalam masa ini, peran ibu tak tergantikan. Bermodal kedekatakan secara lahir bathin, ibu adalah satu-satunya orang yang paling memungkinkan memberi stimulus dan cetakan positif pada anak. Anak paling mudah dan paling respon terhadap apa yang oleh ibunya katakan atau lakukan. Pada masa ini, bisa dibilang sebagai tahap pondasi. Keluarga adalah pondasi dimana watak anak dibentuk sedemikian rupa. Segala apa yang didapat dari keluarga akan bertransformasi secara terus menerus seumur hidup dalam diri anak.
Kelima, Pendidikan di Luar rumah seperti sekolah atau pesantren. Tahap ini mungkin bisa dibilang sebagai tahap lanjutan. Akan tetapi tetap harus diperhatikan. Pemilihan lembaga pendidikan baik sekoklah maupun pesantren harus memperhatikan tujuan dari orangtua dan menyesuaikan dengan bakat dan minat anak. Memaksakan kehendak orangtua kepada anak juga bukan solusi yang baik. Memilih sekolah, pesantren, atau lembaga pendidikan lainnya harus pula menggunakan kebijaksanaan dari orangtua. Sebab meski secara lahiriyah anak adalah darah daging namun secara ideologis "anak kita bukan kita".
Sekian dulu, saya agar terburu-buru sebab waktu sudah jam satu siang, saatnya balik kantor dan keluarga tengah menunggu di rumah.
Sudah mafhum bahwa pendidikan anak yang terpenting adalah di dalam keluarga. Keluarga dapat dipandang sebagai lembaga non formal yang membentuk watak dan karakter anak. Menanamkan nilai-nilai positif memang menjadi kewajiban orangtua. Hatta Pendidikan lanjutan di luar pendidikan anak juga adalah sebagai tanggungjawab dari orangtua.
Peribahasa bilang "anak tuh ya tergantung orangtuanya bagaimana", "buah mangga jatuh takkan jauh dari pohonnya". Peribahasa demikian benar adanya. Sebab bagaimana pun anak adalah titisan darah dari orangtuanya. Secara tidak langsung genetika dan karakter orangtuanya diwariskan meski tidak secara keseluruhan. Pemahaman ini penting diketahui agar nanti kita tidak salah paham dan dapat lebih bijak lagi dalam menghadapi anak kita sendiri.
Oleh karena itu, jika ada yang bertanya, kapan memulai mendidikan anak? jawabannya bukan sejak lahir atau sejak dalam kandungan; akan tetapi jawabannya sejak ibu dan ayahnya masih anak-anak atau muda. Sebab secara tidak langsung, genetika ibu dan ayahnya diwariskan. Mengapa demikian? betapa watak dan perilaku orangtuanya sedari muda itu juga berpengaruh pada anaknya. Maka dari itu, beberapa catatan saya perlu diperhatikan dalam frame mendidik anak dan menjadikan seorang anak menjadi shaleh dan shalehah.
Pertama, sejak sebelum menikah kedua orangtuanya hendaknya adalah orang-orang baik. Gambaran orang yang taat kepada agama dan patuh pada hukum. Ini juga berpengaruh nanti pada watak anak di kemudian hari. Salah jika ada orang yang beranggapan bahwa masa muda seseorang tidak berpengaruh pada akhlak anak. Tentu sangat berpengaruh. Perilaku buruk ayah atau ibunya di masa muda akan berpengaruh pula pada anaknya. Pengecualian jika perilaku buruk itu diperbaiki atau dihapus dengan pertaubatan, taubat nasuha.
Kedua, pada saat kedua orangtuanya (maaf) bersenggama. Tentu, sebagai orang yang beragama, diajarkan doa-doa termasuk dalam hal ini. Maksudnya bahwa aktivitas bersenggama tidak dicampuri oleh syetan atau makhluk lain yang negatif. Jika tanpa doa maka, naudzubillah, sedikit banyaknya anak dipengaruhi oleh watak negatif. Sebab, syetan juga ikut mencampuri urusan suami kepada istrinya dalam proses pembuahan sperma pada ovum. Naudzubillah.
Ketiga, pada saat dalam kandungan selama sembilan bulan. Masa-masa ini sangat penting dan harus diperhatikan. Misalnya saja, orang yang hamil dianjurkan banyak membaca alqur'an dan shalawat, agar si janin terasah emosinya dengan hal positif sejak dalam kandungan. Atau misalnya si Ibu menghindari banyak tidur dan lebih banyak menyibukkan aktivitas pekerjaan rumah dengan telaten. Hal itu dipercaya agar si anak tidak memiliki watak malas. Meskipun aktivitas yang saya maksud harus dibatasi pada kegiatan ringan bukan kegiatan berat yang membahayakan si janin secara fisik.
Keempat, ketika telah lahir dan berkembang. Hendaknya orangtua dan orang-orang yang ada di sekitarnya memberikan contoh baik. Baik dalam perkataan, dialog, perbuatan, dan lain sebagainya. Sebab pada masa itu si anak sangat tajam menyerap dan mengadopsi segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Contoh yang baik dibutuhkan agar yang diadopsi oleh anak adalah hal yang baik yang kemudian akan menjadi kebiasaan dan karakter anak di kemudian hari. Dalam masa ini, peran ibu tak tergantikan. Bermodal kedekatakan secara lahir bathin, ibu adalah satu-satunya orang yang paling memungkinkan memberi stimulus dan cetakan positif pada anak. Anak paling mudah dan paling respon terhadap apa yang oleh ibunya katakan atau lakukan. Pada masa ini, bisa dibilang sebagai tahap pondasi. Keluarga adalah pondasi dimana watak anak dibentuk sedemikian rupa. Segala apa yang didapat dari keluarga akan bertransformasi secara terus menerus seumur hidup dalam diri anak.
Kelima, Pendidikan di Luar rumah seperti sekolah atau pesantren. Tahap ini mungkin bisa dibilang sebagai tahap lanjutan. Akan tetapi tetap harus diperhatikan. Pemilihan lembaga pendidikan baik sekoklah maupun pesantren harus memperhatikan tujuan dari orangtua dan menyesuaikan dengan bakat dan minat anak. Memaksakan kehendak orangtua kepada anak juga bukan solusi yang baik. Memilih sekolah, pesantren, atau lembaga pendidikan lainnya harus pula menggunakan kebijaksanaan dari orangtua. Sebab meski secara lahiriyah anak adalah darah daging namun secara ideologis "anak kita bukan kita".
Sekian dulu, saya agar terburu-buru sebab waktu sudah jam satu siang, saatnya balik kantor dan keluarga tengah menunggu di rumah.