Blogger Jateng

Makna Dusun Dalam Adat Sunda

Makna dusun dalam bahasa sunda

"Tong Cacaplek dahar teh, eta teh dusun"
 

(artinya: Jangan bersuara ketika mengunyak makanan, itu dusun).

"Tong calik dina korsih guru, dusun"

(artinya: Jangan duduk di kursi guru, tidak sopan)

"tong nyarios tarik-tarik caketeun kolot, dusun"

(artinya: Jangan bicara keras-keras di dekat orang yang lebih tua, itu tidak sopan)

Dalam bahasa Indonesia, dusun dapat dimaknai sebagai kampung atau desa. Namun berbeda tentunya dengan pemaknaan dalam bahasa sunda. Secara Bahasa, Belum ditemukan arti kata dusun dalam kamus sunda. Penulis menulusuri dalam Kamus Bahasa Sunda-Indonesia karangan Maman Soemantri dkk yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1985, tidak ditemukan kata dusun dalam kamus itu. Namun penulis menemukan padanan kata dusun yaitu Calutak (halaman 115) pada buku kamus yang sama. 

Hemat penulis, terutama ketika memaknai kata dusun dalam sebuah kalimat, penulis meyakini bahwa dusun artinya tidak sopan (kirang sopan/teu sopan). Suatu sikap yang menunjukkan rasa tidak menghormati baik secara disengaja ataupun tidak disengaja. Dusun adalah kata untuk menunjukkan sesuatu yang kurang baik, dan tentunya bolehlah dianggap sebagai larangan. Analisis penulis, dusun dalam hukum islam sepadan dengan makruh, yaitu sesuatu yang tidak disukai dan cenderung dibenci. Sesutu yang dianggap dusun memang bisa dilakukan, namun masuk katerogi tidak baik (kirang sae) bahkan bisa jadi buruk (awon). Pengertian penulis ini juga berdasarkan perbincangan ringan dengan para sesepuh atau kokolot di wilayah penulis, Majalengka. 

Kesopanan atau tatakrama memang yang diutamakan dalam adat sunda, dan penulis yakin juga sama dalam adat-adat daerah atau suku lain. Dari bahasa, hingga tingkah laku di dalam pergaulan orang sunda dinilai dari tatakrama kesopanan itu. HIngga dikenal yang disebut sebagai undak usuk dalam bahasa sunda adalah dalam rangka menunjukkan derajat kesopanan dan ketidaksopanan dari segi bahasa. Seseorang dipandang baik atau buruk, diukur dari seberapa sopan ia terhadap oranglain (orangtua, saudara, tetangga, dan oranglain). Betapa kesopanan menjadi faktor penting yang ditransformasikan dalam pendidikan keseharian oleh orangtua kepada anak. Dengan harapan, kesopanan itu menjadi karakter yang mendarahdaging dalam diri anak yang kelak menjadi bekal kehidupannya di masa mendatang. 

Kesopanan dan tatakrama diajarkan hingga di Tajug/musholla, sekolah, pesantren, dan dalam pergaulan dan keseharian. Bahkan kesopanan, pada sisi tertentu, menjadi penanda status sosial seseorang. Terutama bagi kalangan terdidik seperti sesepuh, kokolot, aparat, ustadz kiai, tatakrama kesopanan sangat penting artinya. Bagi mereka, pewarisan kesopanan pada anak-anak dan keturunannya sangat dijaga betul-betul. Tak aneh bila hingga hari ini, dalam keluarga orang-orang yang disebutkan di atas, bahasa dan laku kesopanan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya pada ceremoni atau acara resmi. 

Analisis penulis sampai pada tingkatan atau level dari kata dusun. Pertama, ada bahasa kirang sae (kurang bagus). Ada perilaku atau bahasa yang dikategorikan kirang sae; misalnya berbicara kepada orang yang lebih tua dengan nada yang lebih tinggi dibanding orang yang lebih tua tersebut. Kedua, Awon (jelek). Misalnya, berbicara kepada orang lain (baik lebih tua atau lebih muda) dengan sikap kepala mendongak ke atas, atau misalnya memberikan sesuatu kepada oranglain dengan menggunakan tangan kiri. Ketiga, Calutak (buruk sekali). Misalnya, berjalan ke hadapan orang lain asal berjalan saja, tanpa permisi atau tanpa membungkukkan badan. 

Pembaca yang budiman, tatar Sunda atau Parahyangan dikenal dengan masyarakat yang sopan, santun, dan berbudi. Secara kasat mata nampak dari cara menyapa dan berbicara. Secara cengkok atau pelafalan kalimat pun seperti mendayu dan berdendang, yang tiap daerah di tatar sunda punya ciri khasnya masing-masing. Bahkan hingga bahasa tubuh pun menunjukkan kesopanan dan kesantunan. Bagi orang-orang 'modern' acapkali dipandang berlebihan. Tapi itulah jatidiri orang sunda. 

Sedari kecil orang sunda ditanamkan kebiasaan dalam bersopan santun, baik dalam berbicara maupun dalam berperilaku. Elok nian anak-anak sejak kecil berbicara dengan bahasa halus nan sopan. Para sesepuh atau kokolot juga demikian, meski kebiasaan ini kini dipandang makin terkikis oleh perkembangan zaman.