Blogger Jateng

Pamali Sunda; Antara Mitos Dan Ajaran (bagian 1)

Pamali Sunda; Antara Mitos Dan Ajaran (bagian 1)--Kita sering mendengar kata "pamali". Biasanya orangtua yang memegang ajaran orangtua terdahulu akrab dengan kata ini. Kata pamali sering sekali mendengar di daerah tatar sunda, sering juga disebut pamali Sunda. Misalnya, ketika kita duduk di pintu maka orangtua menegur kita dengan kata pamali.

pamali sunda antara mitos dan ajaran
Sumber gambar: nu online

Pamali secara bahasa entah pamali sunda atau pamali jawa yang bermakna larangan. Kata Pamali dikenal di jawa baik yang suku jawa maupun suku sunda. Entah berasal dari budaya leluhur djawa dwipa ataukah dari sunda wiwitan. Bahkan di luar jawa seperti Maluku juga mengenal istilah ini.

Namun ada yang mengartikan bahwa pamali juga berkaitan dengan bahasa Arab. فما لي yang artinya "maka apa buatku" alhasil artinya bahwa pamali itu tidak ada gunanya buatku. Sesuatu yang tidak punya arti apapun alias nganggur atau sia-sia (لغو)

Pamali berarti tidak boleh (نهي). Pamali adalah sebuah larangan. Namun, anak masa kini (milenial) sering bertanya bahkan secara langsung pada orangtua tentang alasannya. Kenapa tidak boleh duduk di pintu? Seketika tidak dapat jawaban. Kebanyakan begitu. Bagi orangtua zaman dulu, ketika dikatakan pamali berarti tidak boleh. Titik. Tidak boleh bertanya dan tidak usah jawaban.

Bagi saya, sikap orangtua itu dipandang sebagai sisi positif. Sebab sikap seperti itu menggambarkan taklid di satu sisi dan kepatuhan tanpa syarat di sisi lain. Bahasa agamanya saya pikir kepatuhan seperti itu setara dengan "tha'at" yang artinya patuh tanpa syarat. Misal, ketika Allah memberikan perintah shalat magrib tiga rakaat, maka muslim ta'at tidak usah bertanya mengapa tiga rakaat, mengapa tidak dua atau empat atau bahkan tujuh.

Artinya, dalam ranah agama seperti itu, perintah-perintah atau larangan-larangan Allah hanya dapat ditelisik dari segi hikmatusyar'i dan tidak dari maqashifuasyar'i. Kita hanya boleh mencari hikmah di balik magrib yang tiga rakaat dan kita tidak boleh mempertanyakan, karena tidak akan ada jawaban, mengapa magrib tiga rakaat dan bukan empat atau dua.

Lalu mengapa ada bahasa pamali? Dari mana asalnya? Sebuah pertanyaan yang menarik namun sulit jawabannya.

Saya sendiri tidak mampu menjawab secara detil dari pertanyaan itu. Namun akan saya coba dari sisi intrinsik atau dari sisi tasawuf dan akhlak.

Kita ambil satu contoh: tidak boleh duduk di pintu. Yang jelas secara akhlak ini tidak baik. Sebab fungsi pintu bukan untuk duduk. Sebab duduk di pintu menghalangi orang yang keluar masuk. Lebih jauh lagi, pintu adalah salah satu simbol dari jalan. Tentu tidak boleh merintangi jalan. Ini akhlak.

Satu contoh lain: tidak boleh menaruh beras sembarangan apalagi ditabur berserakan tanpa maksud yang dibenarkan. Pamali. Sekali lagi pamali. Mengapa demikian? Sebab beras adalah sumber hidup. Untuk dimakan. Untuk kehidupan. Untuk mendapatkan kekuatan yang nantinya bermanfaat untuk aktivitas dan ibadah. Orang-orang zaman dulu punya prinsip penghormatan yang sangat tinggi. Menghormati nasi sudah dimulai sejak menghormati padi. Menghormati beras sama halnya dengan menghormati manusia yang mendapatkan kekuatan dari beras. Begitu kira-kira.

So, falsafah orang zaman dulu saya pikir penuh dengan misteri dan teka-teki. Bagi orang-orang yang hidup hatinya dan berpikir positif, akan sampai pada kesimpulan bahwa kata "pamali" mengandung makna dalam. Sebuah larangan ketat yang tidak boleh dilanggar. Memang, beberapa atau banyak dari istilah pamali tidak melanggar syariat islam, akan tetapi jelas sekali mencerminkan penghormatan dan akhlak yang luhur.

Di tulisan ke depan, akan saya tulis istilah pamali secara terpisah. Berdasarkan sumber dari orangtua yang diturunkan hanya secara lisan.

Mudah-mudah nanti bisa jadi referensi untuk kita belajar menghormati warisan budaya leluhur yang, menurut saya, tidak menyimpang dari islam namun justru meningkatkan level kita pada tidak sekedar fiqh, tetapi juga akhlak atau budi pekerti. Wallahu a'lam