Blogger Jateng

Hijrah Menuju Kerukunan Umat Beragama

Bentrok antar umat beragama, debat kusir para agamawan berbeda keyakinan dalam pelbagai forum terbuka, sampai tragedi pengeboman mengatasnamakan jihad di tempat-tempat ibadah adalah potret buram yang masih menyesaki mata kita. Yang terakhir disebut memiliki dampak yang luar biasa; dan dalam beberapa tahun terakhir sukses menuntut hilangnya puluhan nyawa orang tak berdosa.

Di samping sistem filsafat, agama memiliki daya pengaruh yang luar biasa terhadap pemeluknya. Para pemeluk yang militan dan ekstrim akan melakukan apapun demi membela keyakinannya itu. Ikhlas, lillahi ta’ala, berani mati, adalah kemasan bahasa mereka dalam memaknai keyakinan mereka itu.

Atas dasar keyakinan, seseorang berani mengorbankan nyawanya sendiri melalui bom bunuh diri. Jihad, dalam Islam, telah keliru dipahami menjadi melulu tindakan bom bunuh diri atau lebih dikenal terorisme. Sebuah tindakan yang sama sekali tidak menghiraukan sisi destruktivitasnya yang dahsyat. Sebaliknya, potongan tubuh manusia, ceceran darah dan tangisan keluarga korban adalah tawa kemenangan mereka dan pahala di sisi Tuhan mereka sendiri.

Membendung Benih Terorisme

(nyaris) Mustahil bahwa agama mengajarkan dan menganjurkan tindak kekerasan. Agama apapun menebarkan ajaran yang mengerucut pada kesatuan pemahaman, agama adalah rahmat bagi diri, lingkungan, dan alam secara keseluruhan. Tidak ada agama yang menganjurkan pemeluknya untuk membuat onar, kericuhan, keresahan di tengah masyarakat, dan segala bentuk tindak pengrusakan lainnya di muka bumi. Karenanya, jihad yang mengambil bentuk dalam wajah terorisme, samasekali bukan representasi ajaran Islam kâffah dan bertentangan dengan konsep asasi Islam--“Al-Islam Huwa Rahmatan Li Al-‘Alamin”.

Lahirnya ekstrimitas pemahaman yang berujung tindakan radikal-destruktif adalah bentuk kegagalan mamaknai Islam secara utuh. Dalam wacana Islam kontemporer, gerakan dan pemahaman yang demikian disebut Neo-Khawarij--merujuk pada peristiwa arbitrase Ali dengan Mu’awiyah. Kini, Neo-Khawarij itu mewujud dalam ragam gerakan fundamentalisme Islam yang mapan dan rapi.

Bahaya ekstrimitas, karenanya, mesti segera dibendung semua pihak. Jika dibiarkan, tragedi memilukan Bali (I & II), tak menutup kemungkinan, akan kembali terjadi.

Akar terorisme, salah satunya, bertolak dari kekeliruan memahami Islam. Sempitnya pengetahuan dan dangkalnya pemahaman memunculkan bentuk gerakan anarkis dan destruktif para teroris. Karenya, Salah satu jalan memangkas tumbuh suburnya pemahaman ekstrim atas Islam ialah dengan mengampanyekan pemahaman yang utuh dan luas tentang Islam.

Ahlussunah wal jamaah, tampaknya, menjadi semangat yang mewakili Islam. Karena paham Aswaja mewakili makna Islam yang lebih toleran dan berwajah ramah. Aswaja menawarkan Pemahaman yang moderat yang, sampai detik ini, tampaknya paling relevan. Bermodal pemahaman Islam yang moderat, sikap keberagamaan akan dengan sendirinya berproses menuju baik. Salah satunya, lantaran sikap sosio-religius bertolak dari bangunan keyakinan dan dasar pemahaman keberagamaan.

Menggali Tauladan

Menumbuhkan dan memperbaiki pemahaman keberagamaan menuju yang lebih toleran mutlak dibutuhkan. Hal itu dalam rangka menghidupkan kembali kebersamaan dan kerukunan yang selama ini pudar. Pada gilirannya, totalitas perubahan cara pandang sekaligus sikap keberagamaan dapat menyumbang energi besar guna menciptakan kerukunan dan kesediaan hidup berdampingan antar agama.

Tarikh perilaku Nabi menjadi inspirasi yang takkan pernah kering yang menggambarkan tauladan sikap; bagaimana semestinya membangun kerukunan umat beragama. Perilaku Nabi tak hanya memberi inspirasi dan konsep, akan tetapi sekaligus menghadirkan realitas bagaimana moderasi pemahaman dan sikap keberagamaan beliau mampu membangun kerukunan di Madinah. Sebuah kota pertama di dunia yang mampu membuktikan bahwa perbedaan bukan bencana tetapi rahmat. Madinah, mampu mengikis bahasa etnosentrisme, chauvimisme, dan sukuisme sempit dan ekstrimitas, khususnya bagi pemeluk Islam. Karena itu, sebagai seorang muslim mestinya mampu berkaca pada akhlak Nabi Muhammad mengenai bagaimana semestinya berpikir, bersikap, dan berprilaku Islami.

Semangat pluralitas telah tercermin dari pribadi Nabi. Kesadaran bahwa perbedaan adalah rahmat menuntun Nabi untuk tidak memaksakan kehendaknya pada orang lain, termasuk persoalan agama. Para pemeluk non-muslim dibiarkan hidup berdampingan dan memiliki hak yang sama sebagai warga Negara Madinah. Nabi mewajibkan setiap muslim untuk menghormati non-muslim sebagaimana layaknya dan tindakan menyakiti mereka samahalnya menyakiti Nabi (al-Hadits).

Cukup dengan berkaca pada akhlak Nabi, para sahabat, dan orang-orang saleh salaf kita akan punya bekal untuk memahami betapa kerukunan antar umat beragama bukan sekedar wacana. Yang dibutuhkan saat ini adalah niat dan komitmen dari seluruh pemeluk agama, dan diri kita sendiri.