Blogger Jateng

Olahraga Naje’ tampar: Cermin Kultus Hargadiri Orang Madura

Madura dengan ragam lokalitas budaya yang unik, memendam sejuta nilai dan kedalaman falsafah hidup. Keorsinilan dan lokalitas budaya Madura merupakan khasanah sebagai penampakkan kasar dari nilai, semangat, falsafah, dan pondasi hidup orang Madura. Tampak nyata bahwa, di samping religiusitas, masyarakat Madura juga dicirikan dengan karakter pribadi yang kasar, garang, tetapi juga tegas, kukuh, dan kuat.

Jatidiri menjadi begitu mencolok dalam tradisi masyarakat Madura. Nyaris pelbagai aktivitas selalu dikaitkan dengan jatidiri. Sebab itu, harga-diri dalam pandangan orang Madura dipandang sedikit lebih tinggi nilainya dibanding pemahaman suku bangsa lainnya. Dan, mempertahankan harga-diri, karenanya, hampir dipandang sebagai “kewajiban”, meski kadang harus mengorbankan nyawa sekalipun.

Tradisi Olahraga Naje’ tampar.

Ada sebuah permainan (baca: tradisi) rakyat yang unik berkembang di tengah masyarakat Madura. Tradisi itu ialah lomba tarik tambang (naje’ tampar). Sebuah permainan adu otot dan kekuatan fisik yang memanfaatkan tambang sebagai medianya. Sebagaimana lazimnya tarik tambang, kemenangan sebuah kelompok dicirikan oleh keberhasilan menarik batas tengah tambang milik lawan melewati garis batas arena yang telah ditentukan sebelumnya. Kecuali itu, tarik tambang ala Madura menggunakan lobang penopang bagi tiap peserta dari masing-masing kelompok yang bertanding. Lobang itu berguna sebagai titik tolak kaki guna menambah kekuatan dan menarik jatuh kelompok lawan. Sebab caranya yang unik itu, tarik tambang ala Madura relatif memakan waktu cukup lama; sekitar satu jam, bahkan bisa lebih.

Yang menarik dari olahraga rakyat itu sebenarnya bukan terletak pada menakisme teknis tarik tambang yang berbeda dengan tarik tambang pada umumnya. Akan tetapi, ketika ditengok lebih dalam, tarik tambang memuat sebuah realitas dimana hargadiri, salah satunya, menjadi taruhan.

Lomba Tarik tambang bagi masyarakat madura tak sekedar adu otot, strategi bermain, kekuatan fisik, tetapi juga perang harga diri. Ada perang harga diri yang tampak di sana. Kemenangan tarik tambang dianggap sebagai peneguhan jatidiri, kekutan, kehormatan, bahkan kekuasaan. Karena itu, lomba naje’ tampar ialah medium perebutan kehormatan dimana yang menang boleh menepuk dada kemudian disegani semua orang. Biasanya ketua sebuah kelompok yang memegang peranan penting dan paling berkepentingan merengkuh kemenangan kelompoknya. Sebab kepala kelompok lah yang pertama kali dilihat orang ketika kelompoknya menang atau kalah dalam ajang itu.

Berangkat dari cara pandang itu, pelbagai cara ditempuh demi merebut kemenangan. Kelompok yang saling bertanding tak hanya mempersiapkan kekuatan fisik dan taktik-strategi. Akan tetapi juga cara-cara mistik melalui ritual-ritual dan proses tertentu. Karena itu, dukun atau kiai kemudian menjadi rujukan untuk meminta bantuan.

Lumrahnya, beberapa hari sebelum pertandingan, ritual dilakukan tiap malam. Ada yang melalui wiridan tertentu yang diberikan kiai, ada juga yang melalui bacaan-bacaan alqur’an. Tak jarang pula, para peserta menggunakan jimat (kotekah) untuk menopang kekuatan secara gaib. Pada kenyataannya, tak jarang peserta yang kalah “pamor” kalap bahkan sampai pingsan dan tak sadarkan diri. Itu semua dipercaya sebagai dampak dari wiridan dan ritual yang telah dilakukan. Di samping itu, kepercayaan itu dibuktikan pula oleh banyaknya kejanggalan yang terjadi di arena. Banyak kelompok yang secara fisik menonjol tetapi dapat dikalahkan dengan mudah oleh kelompok yang terdiri dari remaja belasan tahun dan tidak memiliki kelebihan fisik dan otot. Semua cara itu digunakan demi meraup kemenangan dalam lomba naje’ tampar.

Olahraga yang kerap dilaksanakan menjelang tanam tembakau atau pasca panen jagung itu biasanya memperebutkan hadiah berupa sepeda motor, DVD, tape, dan lainnya. Hadiah yang sebenarnya tidak sebanding dengan modal yang harus dikeluarkan. Sebab ritual dan prosesi persiapan secara spiritual dan teknis kerap membutuhkan lebih banyak dana. Akan tetapi itu tidak dianggap masalah, sebab—lagi-lagi—kemenangan cukup memberi kepuasan bagi pimpinan dan anggota kelompok.

Namun, ekses negatifnya, tarik tambang kerap pula menyemai dendam dari kelompok yang kalah atau peserta yang pernah terkena tola (doa-doa). Dendam itu biasanya akan dibalas dalam pertandingan lain. Begitu seterusnya.

Akan tetapi, terlepas dari ekses negative yang dikandungnya, beberapa dampak positif juga menjadi penopang argument bahwa naje’ tampar tetap harus dipertahankan sebagai khasanah budaya lokal Madura. Salah satunya ialah mempererat tali persaudaraan. Sebab dalam ajang itu, dipertemukan banyak kelompok dari berbagai daerah. Permainan menjadi seru dan bahkan menimbulkan tawa-riang ketika peserta membuat ulah yang aneh-aneh. Biasanya pula para ketua kelompok saling mengenal dan berteman, bahkan saling membantu dalam persoalan kehidupan sehari-hari.

Tarik tambang, karenanya pula, dapat dianggap sebagai pemersatu masyarakat. Dan yang paling penting, naje’ tampar merupakan khasanah budaya Madura yang unik dan perlu dilestarikan.