Blogger Jateng

Ketika UN Mengusik Pesantren

Problematika UN

Ketika UN Mengusik Pesantren--Semenjak pemberlakuannya, ujian nasional (UN) masih tetap problematis sampai hari ini. Tidak saja telah meresahkan dunia pendidikan formal—terutama anak didik, orang tua siswa, guru, juga lembaga pendidikan--, namun juga telah mereduksi makna esensi dari keberhasilan proses pendidikan. Dengan UN, tolak ukur keberhasilan melulu dilihat melalui pencapaian aspek kognitif yang terejawantah dalam deretan angka matematis. Padahal, pendidikan mencakup multiaspek diri manusia yang lalu meniscayakan sebuah sistem evaluasi yang menyeluruh pula (A. Rahman Hakim: 2005:332).

Belum lagi problematika Ujian Nasional terpecahkan, masyarakat dikejutkan dengan wacana pemberlakuan UN di pesantren salaf: pesantren yang hanya mengajarkan pendidikan agama. Ironisnya, wacana itu diapresiasi oleh sebagian kalangan pesantren sendiri. Mukhlisin AS melihat apresiasi itu hanya dari sudut positifnya dan tampak menafikan ekses negatif dari lahirnya isu tersebut.

Hamid Syarif, Sekretaris Asosiasi Pondok Pesantren Indonesia (APPI)—yang juga searah dengan pikiran Mukhlisin--berpendapat, gagasan pelaksanaan ujian nasional di pesantren salaf ialah dalam rangka menjembatani santri salaf agar dapat berpartisipasi pada pendidikan formal. Menurutnya, ijazah yang didapat nantinya, akan memudahkan santri salaf untuk melanjutkan pendidikannya pada jalur formal, di samping itu juga bermanfaat untuk memenuhi prasyarat formal ketika hendak mengisi ruang-ruang formal publik di masa mendatang (Kompas, 11 Januari 2008).

Bentuk “Penjajahan”

Apa yang diungkapkan Hamid satu sisi ada benarnya, tetapi di sisi lain, muncul lebih banyak lagi problem pendidikan. Di samping itu, gagasan pelaksanaan UN di pesantren salaf semakin menampakkan sikap ambiguitas pemegang kebijakan pendidikan terhadap posisi pesantren. Satu sisi, pesantren dianggap aset berharga yang harus dipelihara dan dibiarkan mandiri. Namun di sisi lain, independensi pesantren dalam menyelenggarakan pendidikan, yang selama ini dihormati, mulai diusik dan dirongrong.

Pelaksanaan UN meniscayakan masuknya mata pelajaran yang di-UN-kan ke dalam kurikulum pesantren salaf. Sampai pada batas ini, konsentrasi pesantren salaf dalam menyelenggarakan pendidikan agama terpecah dan berantakan. Karena itu, pemberlakuan UN di pesantren salaf sebenarnya merupakan bentuk lain dari penjajahan. Demi kepentingan UN, pesantren salaf “dipaksa” menerima “kurikulum pesanan” itu sebagai mata pelajaran pokok di samping—bisa jadi mengalahkan—pelajaran agama.

Khittah Pesantren Salaf

Selama ini, bentuk independensi pendidikan merupakan identitas yang dipegang teguh oleh pesantren, terutama pesantren salaf. Bermodal keberanian serta dukungan masyarakat, pesantren mampu secara mandiri menyelenggarakan pendidikannya sendiri tanpa terikat pada siapapun, termasuk pada pemerintah. Terbukti, sistem pendidikan pesantren yang demikian itu mampu bertahan dari gelombang transisi politik-ekonomi sekaligus mampu melahirkan generasi bangsa yang mumpuni. Bahkan bagi pesantren semi atau modern sekali pun, pendidikan agama tetap menjadi prioritas. Kepentingan pada akses pendidikan formal dijembatani oleh didirikannya lembaga pendidikan formal (baca: sekolah). Sekolah formal yang didirikan oleh pesantren ialah dalam rangka melayani atau menampung santri yang memiliki minat belajar di jalur formal.

Alasan Hamid atas pentingnya pelaksanaan UN di pesantren tampaknya dangkal. Pesantren, dalam sejarahnya, tidak pernah beranggapan bahwa ijazah adalah segala-galanya; mengesampingkan pencapaian mutu kualitas pribadi santri. Konsentrasi pesantren ialah terfokus pada bagaimana membangun santri yang cerdas, bermoral, dan berakhlakul karimah. Karenanya, kualitas pendidikan dan kualitas pribadi santri betul-betul diperhatikan. Pesantren menganggap esensi pendidikan adalah adanya peningkatan mutu pendidikan yang ditunjukkan oleh peningkatan mutu out put pesantren; bukan pada capaian-capaian “pragmatis” semisal ijazah.

Gagasan pemberlakuan UN di pesantren salaf bukan ide menarik. Pelaksanaan UN di pesantren salaf hanya akan mengekang gerak pendidikan pesantren itu sendiri. Alih-alih “membantu” output pesantren dengan ijazah yang diperoleh dengan jalan mengikuti UN, kemandirian, independensi, lalu karakteristik pendidikan pesantren terkebiri dan terkikis. Karena ujian nasional mengandaikan pula adanya formalisasi kurikulum “pesanan” yang menuntut untuk diintegrasikan dalam kurikulum pesantren itu sendiri. Setidaknya, pelaksanaan UN akan mampu menggoncang sistem dan tradisi pendidikan pesantren salaf selama ini.

Merusak Mental

Kritik terhadap pelaksanaan UN menemukan momentumnya ketika dikaitkan juga dengan gagasan pemberlakuannya di pesantren salaf. Paradigma pemberlakuan UN kerapkali mengerucut pada pemosisian sebuah ijazah secara tidak proporsional. Ijazah dianggap sebagai segalanya dan acapkali mengesampingkan kualitas pendidikan itu sendiri. Formalitas sering memunculkan sindrom akut--semacam virus--dan menafikan esensi pendidikan.

Sampai pada batas ini, paradigma thalabul ilmi (mencari ilmu) bergeser pada paradigma thalabul ijazah (mencari ijazah). Buktinya, diakui atau tidak, “virus” ini telah menjalar pada sebagian banyak anak didik di sekolah formal. Orientasi ijazah inilah yang secara mendasar telah menodai makna esensi pendidikan dan menyemai bibit-bibit pragmatisme dalam pribadi anak didik.

Pandangan “miring” terhadap ijazah bukan berarti bahwa pesantren menafikan samasekali guna selembar ijazah itu. Tetapi pendidikan mestinya melampaui kebutuhan akan ijazah. Jalan tengah yang diambil pesantren dengan menyediakan pendidikan formal di samping pendidikan non formal pesantren merupakan langkah proporsional paling tepat.

Sikap pesantren salaf yang memilih independen secara total dan mengambil jarak dengan pemerintah atau pemegang kebijakan pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan semestinya dihargai sebagai sebuah pilihan. Bahkan sebaliknya, pendidikan formal harus banyak belajar pada pesantren tentang bagaimana membangun kepercayaan masyarakat, mendidik anak, dan hal lain yang sampai saat ini menjadi nilai lebih pesantren (Tijani:2008:23). Pendidikan formal (baca: para aktor pendidikan) semestinya belajar bagaimana mengembalikan proses pendidikan menjadi lebih membumi dan merakyat seperti yang telah dilakukan pesantren selama ini.

Dengan berbagai alasan apapun, pemberlakuan UN di pesantren salaf samasekali bukan solusi cerdas mengatasi kejumudan dunia pendidikan bangsa ini--kalau tidak justru malah makin memperkeruh wajah pendidikan kita. Sebagaimana yang terjadi, pelaksanaan UN di sekolah formal tak maksimal mampu mendongkrak realitas pendidikan kita ke arah yang lebih cerah selain capaian-capaian kuantitatif-numeral plus resiko psikologi, mental, dan dekadensi moral para siswa dan pelaku pendidikan lainnya. Sebagai gambaran, standarisasi nilai kelulusan anak didik yang dirasa berat, memaksa anak menggunakan segala cara untuk meraih kelulusan, meski dengan cara-cara yang amoral. Begitu pun guru, lembaga, dan pelaku pendidikan lainnya; dengan sengaja menyiasati UN guna menyelamatkan muka lembaga di mata pemerintah dan di mata publik.

Tampaknya, gagasan pemberlakuan UN di pesantren salaf ibarat ranjau yang mengantarkan pendidikan pesantren ke jurang kehancuran.