Catatan ini adalah secuil respon dari catatan Refleksi Kader Kultural PMII. Saya menanggapi serius catatan ini karena saya anggap sebagai kegelisahan tentang realita PMII hari ini. Mungkin secara detil kegelisahan Pak Rosidi, yang notabene ia adalah kader sebuah komisariat di kampus islam ujung pulau Madura, tidak sepenuhnya mewakili kegelisahan kader PMII Nasional maupun Internasional, namun secara umum gagasannya saya anggap radik dan patut dibahas.
Interpretasi saya mungkin ditertawakan sebab mana buktinya bahwa kader PMII demikian pongah sebagaimana saya deskripsikan di akhir paragraf tadi. Namun sebab ini refleksi, saya pikir hal yang wajar interpretasi sebagai bekal muhasabah masing-masing kita sebagai kader PMII, terutama yang sudah berkecimpung di dunia luar PMII atau alumni. Untuk menunjukkan analisis Pak Rosidi ini benar atau tidak, saya punya beberapa pertanyaan yang bisa kita jawab dalam hati masing-masing.
Bagi para alumni yang memiliki jabatan publik:
1. Apakah nilai kejujuran, keadilan, tawassuth sudah tertanam dan menjadi spirit penggerak dalam setiap kebijakan yang dibuat, disulkan, dirancang, dan dilaksanakan?
2. Apakah soal nomer satu masih dapat dikalahkan dengan uang, sogokan, kepentingan kelompok, partai, golongan, ras, suku, bahkan kepentingan segementatif seperti pertimbangan karena ke PMII an, ke NU an, Ke Madura an, dan lain sebagainya.
3. Lebih konkret, apakah masih ada di antara kita memanipulasi anggaran, me mark up anggaran, menyiasati anggaran dan laporan dalam setiap kegiatan publik padahal kita sadar bahwa anggaran itu adalah uang rakyat, uang mahasiswa, uang kelompok, uang organisasi, dana perjuangan dan lain sebagainya?
4. Ini mungkin pertanyaan lelucon, apakah ketika dihadapkan pada dua aktivitas berbeda akan memilih aktivitas yang populis daripada elitis. Misalnya, antara menghadiri pertemuan kultural para politisi menyikapi kondisi politis suatu daerah dibenturkan dengan kegiatan menghadiri kelompok tani atau kegiatan kemasyarakatan yang dalam acara itu kita punya peran sentral?
Jika jujur jawabannya negatif, maka kita harus mengakui bahwa PMII dalam diri kita hanya cangkang atau kulit dan belum mendarah daging. Jangan bicara perjuangan apalagi gerakan kalau basik pengejawantahan aswaja model pertanyaan nomer satu di atas saja masih belum bisa dijawab dengan benar.
Pertanyaan bagi para pendidik,
1. Apakah kita sudah benar dalam mendidik generasi bangsa dengan menanamkan nilai-nilai islam dan nilai-nilai aswaja?
2. Apakah kita adalah pelopor dalam dunia pendidikan atau hanya sekedarnya saja?
3. Apakah kita telah menjadi contoh dalam dunia pendidikan atau belum?
4. Apakah sikap kita sebagai guru adalah gambaran kedisiplinan, komitmen, kerja keras, kejujuran, anti manipuasi dan anti korupsi?
5. Ini pertanyaan lucu, apakah kita telah masuk dan keluar kelas sesuai jam tanpa sedetikpun dikorupsi dan memberikan hak-hak pengajaran kepada murid-murid dengan sepenuh hati dan semaksimal mungkin ataukah belum?
Bagi para kader PMII di dunia lain silakan membuat pertanyaan sendiri dan jawab sendiri.
Saya sendiri paham bahwa interpretasi saya melalui pertanyaan-pertanyaan di atas bukan perspektif ideologis atau paradigma, melainkan pertanyaan operasional lapangan. Akan tetapi saya juga mengerti bahwa pertanyaan-pertanyaan yang saya buat di atas adalah indikator penting untuk menunjukkan siapa kita sebenarnya. Apakah PMII yang sesungguhnya atau bukan. Pergeseran paradigma dapat dilihat sendiri ketika kita menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Saya menganggap wajar kegelisahan Pak Rosidi juga karena saya juga menyaksikan para kader di Daerah saya tak jauh berbeda. Meski memang tidak semuanya. Sebab saya sendiri paham bahwa yang bergeser bukan paradigma PMII nya tetapi paradigma Kader PMII.
saya cukupkan segini dulu. Keburu sore dan saya harus beraktivitas. Di lain waktu saya lanjutkan.
Saya tetap berharap PMII menjadi motor dari gerakan perubahan positif bangsa ini dan dunia. Sebab bermula dari keyakinan, gerakan PMII adalah bersumber ajaran islam rahmatan lil'alamin yang menemukan potretnya pada perjuangan walisongo.
Saya masih ingat guyonan teman seorang penganut tarekat, "hari ini nyaris tidak ada waliyullah dalam diri individu, tetapi kekasih Allah seharusnya ada dalam wajah organisasi".
- Sebelumnya saya sampaikan sedikit bahwa Pak Rosidi melihat hari ini adalah pergeseran paradigma (shifting paradigm) di kader PMII. Baginya, kader PMII cenderung menampilkan gerakan elit yang ia sebut sebagai elitisme Kader PMII. Padahal, dalam setiap sesi apapun PMII secara idiil adalah wadah gerakan populis dari kalangan mahasiswa. Pandangan beliau saya kira didasari oleh fakta lapangan, banyak kader PMII yang bangga dengan elitismenya, bangga dengan jabatan atau kedudukannya baik di level internal maupun eksternal tubuh PMII. Sebuah rasa kebanggaan yang dianggap berlebih ketika tidak diimbangi dengan pola pikir, langkah serta kebijakan yang tetap populis. Tidak diimbangi dengan sikap andap asor, merakyat, dan konsisten di jalur perjuangan rakyat.
Interpretasi saya mungkin ditertawakan sebab mana buktinya bahwa kader PMII demikian pongah sebagaimana saya deskripsikan di akhir paragraf tadi. Namun sebab ini refleksi, saya pikir hal yang wajar interpretasi sebagai bekal muhasabah masing-masing kita sebagai kader PMII, terutama yang sudah berkecimpung di dunia luar PMII atau alumni. Untuk menunjukkan analisis Pak Rosidi ini benar atau tidak, saya punya beberapa pertanyaan yang bisa kita jawab dalam hati masing-masing.
Bagi para alumni yang memiliki jabatan publik:
1. Apakah nilai kejujuran, keadilan, tawassuth sudah tertanam dan menjadi spirit penggerak dalam setiap kebijakan yang dibuat, disulkan, dirancang, dan dilaksanakan?
2. Apakah soal nomer satu masih dapat dikalahkan dengan uang, sogokan, kepentingan kelompok, partai, golongan, ras, suku, bahkan kepentingan segementatif seperti pertimbangan karena ke PMII an, ke NU an, Ke Madura an, dan lain sebagainya.
3. Lebih konkret, apakah masih ada di antara kita memanipulasi anggaran, me mark up anggaran, menyiasati anggaran dan laporan dalam setiap kegiatan publik padahal kita sadar bahwa anggaran itu adalah uang rakyat, uang mahasiswa, uang kelompok, uang organisasi, dana perjuangan dan lain sebagainya?
4. Ini mungkin pertanyaan lelucon, apakah ketika dihadapkan pada dua aktivitas berbeda akan memilih aktivitas yang populis daripada elitis. Misalnya, antara menghadiri pertemuan kultural para politisi menyikapi kondisi politis suatu daerah dibenturkan dengan kegiatan menghadiri kelompok tani atau kegiatan kemasyarakatan yang dalam acara itu kita punya peran sentral?
Jika jujur jawabannya negatif, maka kita harus mengakui bahwa PMII dalam diri kita hanya cangkang atau kulit dan belum mendarah daging. Jangan bicara perjuangan apalagi gerakan kalau basik pengejawantahan aswaja model pertanyaan nomer satu di atas saja masih belum bisa dijawab dengan benar.
Pertanyaan bagi para pendidik,
1. Apakah kita sudah benar dalam mendidik generasi bangsa dengan menanamkan nilai-nilai islam dan nilai-nilai aswaja?
2. Apakah kita adalah pelopor dalam dunia pendidikan atau hanya sekedarnya saja?
3. Apakah kita telah menjadi contoh dalam dunia pendidikan atau belum?
4. Apakah sikap kita sebagai guru adalah gambaran kedisiplinan, komitmen, kerja keras, kejujuran, anti manipuasi dan anti korupsi?
5. Ini pertanyaan lucu, apakah kita telah masuk dan keluar kelas sesuai jam tanpa sedetikpun dikorupsi dan memberikan hak-hak pengajaran kepada murid-murid dengan sepenuh hati dan semaksimal mungkin ataukah belum?
Bagi para kader PMII di dunia lain silakan membuat pertanyaan sendiri dan jawab sendiri.
Saya sendiri paham bahwa interpretasi saya melalui pertanyaan-pertanyaan di atas bukan perspektif ideologis atau paradigma, melainkan pertanyaan operasional lapangan. Akan tetapi saya juga mengerti bahwa pertanyaan-pertanyaan yang saya buat di atas adalah indikator penting untuk menunjukkan siapa kita sebenarnya. Apakah PMII yang sesungguhnya atau bukan. Pergeseran paradigma dapat dilihat sendiri ketika kita menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Saya menganggap wajar kegelisahan Pak Rosidi juga karena saya juga menyaksikan para kader di Daerah saya tak jauh berbeda. Meski memang tidak semuanya. Sebab saya sendiri paham bahwa yang bergeser bukan paradigma PMII nya tetapi paradigma Kader PMII.
saya cukupkan segini dulu. Keburu sore dan saya harus beraktivitas. Di lain waktu saya lanjutkan.
Saya tetap berharap PMII menjadi motor dari gerakan perubahan positif bangsa ini dan dunia. Sebab bermula dari keyakinan, gerakan PMII adalah bersumber ajaran islam rahmatan lil'alamin yang menemukan potretnya pada perjuangan walisongo.
Saya masih ingat guyonan teman seorang penganut tarekat, "hari ini nyaris tidak ada waliyullah dalam diri individu, tetapi kekasih Allah seharusnya ada dalam wajah organisasi".