Gangguan emosi (anak) kerap mudah didapatkan di zaman ‘edan’ ini. Konteks masa yang berbeda dan dunia pendidikan yang ‘acak-acakan’ sebagai imbas dari modernitas menyumbang kegetiran tersendiri. Bagaimana tidak, anak-anak acap lepas kontrol, mudah marah, over-agresif, dan punya watak berontak. Sifat-sifat itu menunjukkan bahwa emosi mereka tidak sehat dan labil.
Betapa pentingnya kematangan emosi demi perbaikan akhlak anak dan masa depan hidupnya. Sebab, tanpa kecerdasan emosional, kekhawatiran, kecemasan, dan rasa gusar akan selalu menghantui hidup anak bahkan hingga mereka dewasa. Pendidikan sesungguhnya punya peran penting membangun generasi yang tidak hanya cerdas intelektual, tetapi juga emosional dan spiritual. Jika tidak demikian, dapat dikatakan, pendidikan terkesan hanya mencetak generasi bangsa yang rapuh dan keropos saja.
Daniel Goelman memaknai kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa, melainkan mengelola perasaan sedemikian rupa, sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif. Selain itu, Goelman menunjukkan beberapa indikasi anak yang memiliki kecerdasan emosi, yaitu: adanya kesadaran diri, motivasi, saling percaya dan empati, serta keterampilan dalam bergaul dengan lingkungan sosialnya.
Percaya atau tidak, ternyata musik mampu menjadi alat mencerdaskan emosi manusia—dalam hal ini anak didik. Alunan musik dapat melatih emosi menuju kestabilan. Selama ini seringkali kita memandang musik melulu dari sisi entertain (hiburan) saja. Padahal, musik mampu mendorong perkembangan kecerdasan emosional anak didik.
Masih ingatkah kita (para orangtua) yang dulu ketika kecil seringkali mendengar ibu atua bapak kita mendendangkan shalawatan ketika mereka mengantarkan kita tidur? Atau ketika kita beranjak besar, yang mereka ajarkan adalah pupujian selepas adzan sambil menunggu shalat didirikan? Bukankah itu adalah alunan yang sejajar dengan musik. Orangtua dulu paham dan menyukai musik. Meski secara ilmiah mereka tidak tahu bahwa musik terbukti mampu membuat emosi anak menjadi cerdas.
Ada banyak data dan hasil penelitian yang menunjukkan peran musik dalam mencerdaskan emosi anak. Salah satunya, sebuah penelitian menunjukkan, setidaknya ada dua fungsi utama musik dapat dirasakan secara nyata. Pertama, menghilangkan rasa tegang. Ketegangan dapat berbentuk perilaku mudah marah, over-agresif, dan berontak. Dengan musik penyakit itu dapat diminimalisir bahkan disembuhkan. Alunan musik menghadirkan efek tenang pada syaraf otak. Karena itu pula, F. Rene Van de Carr dan Marc Lehrer sangat menyarankan agar setiap sesi pembelajaran ditutup dengan musik, nyanyian, atau senandung. Menurut mereka, tindakan yang demikian itu menimbulkan efek relaksasi.
Namun, penelitian lain juga menunjukkan, ternyata tidak semua jenis musik mampu merangsang kecerdasan emosi anak didik. Hanya jenis-jenis musik klasik, doa, atau lagu-lagu religius saja yang dapat berfungsi meningkatkan kecerdasan yang dimaksud. Memang, sebelum usia 18 minggu kandungan, sang janin tidak mampu mendengar suara-suara yang berasal dari luar tubuh ibunya. Tetapi, detak jantung ibu si janin ibarat simfoni indah, semacam tabuhan musik, di telinga janin. Pasca 18 minggu kandungan, bayi sudah dapat mendengar suara yang berasal dari luar tubuh si ibu. Saat itu merupakan masa paling tepat untuk memberikan stimulus musik klasik atau rapalan doa dan lagu-lagu religius. John Flohr, seorang psikolog, mengatakan bahwa alunan musik pada bayi dalam kandungan atua setelah ia lahir mampu merangsang aliran saraf dalam otak dan meningkatkan memori dan spasial otak anak. Di samping dapat meningkatkan kecerdasan emosional, hasil penelitian itu juga menunjukkan bahwa musik juga dapat meningkatkan kecerdasan intelektual.
Saatnya musik dijadikan alternatif baik oleh para guru atau para orangtua dalam mendidik anak. Sebab fakta bahwa musik dapat mencerdaskan bukan saja ‘ajaran’ dari orangtua dulu, tetapi telah terbukti secara ilmiah melalui pelbagai penelitian yang telah dilakukan.
Betapa pentingnya kematangan emosi demi perbaikan akhlak anak dan masa depan hidupnya. Sebab, tanpa kecerdasan emosional, kekhawatiran, kecemasan, dan rasa gusar akan selalu menghantui hidup anak bahkan hingga mereka dewasa. Pendidikan sesungguhnya punya peran penting membangun generasi yang tidak hanya cerdas intelektual, tetapi juga emosional dan spiritual. Jika tidak demikian, dapat dikatakan, pendidikan terkesan hanya mencetak generasi bangsa yang rapuh dan keropos saja.
Daniel Goelman memaknai kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa, melainkan mengelola perasaan sedemikian rupa, sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif. Selain itu, Goelman menunjukkan beberapa indikasi anak yang memiliki kecerdasan emosi, yaitu: adanya kesadaran diri, motivasi, saling percaya dan empati, serta keterampilan dalam bergaul dengan lingkungan sosialnya.
Percaya atau tidak, ternyata musik mampu menjadi alat mencerdaskan emosi manusia—dalam hal ini anak didik. Alunan musik dapat melatih emosi menuju kestabilan. Selama ini seringkali kita memandang musik melulu dari sisi entertain (hiburan) saja. Padahal, musik mampu mendorong perkembangan kecerdasan emosional anak didik.
Masih ingatkah kita (para orangtua) yang dulu ketika kecil seringkali mendengar ibu atua bapak kita mendendangkan shalawatan ketika mereka mengantarkan kita tidur? Atau ketika kita beranjak besar, yang mereka ajarkan adalah pupujian selepas adzan sambil menunggu shalat didirikan? Bukankah itu adalah alunan yang sejajar dengan musik. Orangtua dulu paham dan menyukai musik. Meski secara ilmiah mereka tidak tahu bahwa musik terbukti mampu membuat emosi anak menjadi cerdas.
Ada banyak data dan hasil penelitian yang menunjukkan peran musik dalam mencerdaskan emosi anak. Salah satunya, sebuah penelitian menunjukkan, setidaknya ada dua fungsi utama musik dapat dirasakan secara nyata. Pertama, menghilangkan rasa tegang. Ketegangan dapat berbentuk perilaku mudah marah, over-agresif, dan berontak. Dengan musik penyakit itu dapat diminimalisir bahkan disembuhkan. Alunan musik menghadirkan efek tenang pada syaraf otak. Karena itu pula, F. Rene Van de Carr dan Marc Lehrer sangat menyarankan agar setiap sesi pembelajaran ditutup dengan musik, nyanyian, atau senandung. Menurut mereka, tindakan yang demikian itu menimbulkan efek relaksasi.
Namun, penelitian lain juga menunjukkan, ternyata tidak semua jenis musik mampu merangsang kecerdasan emosi anak didik. Hanya jenis-jenis musik klasik, doa, atau lagu-lagu religius saja yang dapat berfungsi meningkatkan kecerdasan yang dimaksud. Memang, sebelum usia 18 minggu kandungan, sang janin tidak mampu mendengar suara-suara yang berasal dari luar tubuh ibunya. Tetapi, detak jantung ibu si janin ibarat simfoni indah, semacam tabuhan musik, di telinga janin. Pasca 18 minggu kandungan, bayi sudah dapat mendengar suara yang berasal dari luar tubuh si ibu. Saat itu merupakan masa paling tepat untuk memberikan stimulus musik klasik atau rapalan doa dan lagu-lagu religius. John Flohr, seorang psikolog, mengatakan bahwa alunan musik pada bayi dalam kandungan atua setelah ia lahir mampu merangsang aliran saraf dalam otak dan meningkatkan memori dan spasial otak anak. Di samping dapat meningkatkan kecerdasan emosional, hasil penelitian itu juga menunjukkan bahwa musik juga dapat meningkatkan kecerdasan intelektual.
Saatnya musik dijadikan alternatif baik oleh para guru atau para orangtua dalam mendidik anak. Sebab fakta bahwa musik dapat mencerdaskan bukan saja ‘ajaran’ dari orangtua dulu, tetapi telah terbukti secara ilmiah melalui pelbagai penelitian yang telah dilakukan.