Bagaimana Caranya Agar Rejeki Berlimpah Berkah?--Pada kesempatan kali ini saya akan mengajak pembaca budiman untuk bersama-sama berpikir lalu bertindak mengenai bagaimana caranya agar rejeki berlimpah berkah.
Di sekitar kita, sering ditemukan fenomena terbalik; orang-orang yang dianggap sukses dan berlimpah harta ternyata kenyataannya dililit utang orang besar. Para miliuner yang nampaknya mewah tiba-tiba bangkrut, rumah disita, mobil diambil, dan pekerjaan di PHK. Atau, orang-orang yang punya usaha besar, penghasilan besar tiba-tiba bangkrut dan sengsara, atau minimal tiba-tiba sepi, cekak, dan dililit utang.
Fenomena seperti itu tak jarang bahkan banyak ditemui. Dalam analisis saya di sini bukan kapasitas untuk mengorek penyebab dari fenomena itu, tetapi saya akan menulis dalam frame agama mengantisipasi fenomena itu dengan beberapa hal yang mengacu pada hadits dan fakta. Mohon maaf jika pembaca di sini tak menemukan ayat atau hadits sebab saya menganggap pembaca sudah lebih cerdas menelaah. Saya hanya akan menyitir keduanya itu sebagai bahasa interpretasi saya sendiri.
Mari kita definisikan secara lugas makna dari berkah. Berkah ialah bertambah kebaikan. Sesuatu yang bertambah kebaikannya dapat dikatakan berkah. Misalnya, semenjak menikah, seorang pemuda makin rajin ibadah. Itu artinya pernikahan yang berkah. Atau, semenjak punya laba besar, seorang pedagang makin rajin sedekah. Jadi, berkah bisa dimaknai bertambahnya materi atau dimaknai sebagai bertambahnya ibadah dan kebaikan. Kira-kira demikian.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi rejeki kurang berkah dalam hal rejeki. Pertama, rejeki yang di dapat dari jalan haram. Misalnya dari berjudi, mencuri, menipu, atau.korupsi. Jenis rejeki ini jelas haram. Alih-alih bertambah kebaikan, kecuali hanya bertambah nominal itupun harus dibarengi dengan bencana musibah. Terkadang Allah menegur orang yang melakukannya melalui penyakit, musibah, atau petaka. Naudzubillah. Rejeki yang didapat dari jalan haram ibarat api, boro-boro berkah malah justru membakar orang yang melakukannya, orang yang memakannya, termasuk anak, istri, dan keluarganya. Berhati-hatilah dengan rejeki jenis ini. Pelajarilah seluk beluk penipuan, perjudian, atau jenis-jenis korupsi dalam usaha agar tidak tejebak dalam rejeki haram yang tidak berkah itu.
Kedua, rejeki halal namun tidak dibersihkan melalui zakat atau sedekah. Mafhum bahwa dalam rejeki yang didapat ada setidaknya 2,5% hak orang-orang lemah yang disebut mustahiq zakat, yaitu mereka orang-orang yang berhak menerima zakat. Perumpamaan sederhana, alokasi 2,5 persen itu ibarat kotoran yang jika tidak dikeluarkan maka akan menjadi penyakit. Mengenai ketentuan zakat bolehlah dipelajari di tempat lain atau langsung tanya ustadz kiai. Namun hemat saya bahwa meski rejeki yang didapat tak wajib zakat karena tidak nisab, tetap saja sebaiknya tetap dibersihkan 2,5 persen sebagai sedekah. Ini penting dilakukan agar rejeki betul-betul bersih yang pada gilirannya menjadi rejeki berkah.
Ketiga, rejeki berkah ialah rejeki yang ada unsur berbagi di luar zakat yang ditentukan setara hibah, wakaf dan semacamnya. Sebab tegas dalam hadits bahwa rejeki yang sesungguhnya dimiliki dan abadi ialah rejeki yang diinfaqkan dan bukan yang disimpan.
Keempat, bagi yang masih punya orangtua, keberkahan rejeki juga dipengaruhi seberapa besar ridha orangtua. Artinya, limpahan harta dan rejeki harus ada alokasi memberi pada orangtua, atau setidaknya orangtua merasakan sedikit banyaknya rejeki itu. Sebab kerelaan, ridha, dan kebahagiaan orangtua juga sebagai faktor penting yang menjadikan rejeki berkah.
Keempat, amanah dalam mempergunakan rejeki. Dalam pandangan ini penting kiranya memahamk bahwa rejeki yang dimiliki adalah titipan Allah yanh sejatinya dipakai seefektif mungkin untuk tujuan beribadah. Itu artinya, bahwa rejeki dari Allah bukan untuk gaya-gayaan, bersenang-senang apalagi berfoya-foya. Bukan dalam arti tidak boleh merasakan kesenangan dunia melalui limpahan rejeki, akan tetapi menurut saya tipis jaraknya antara bersenang-senang secara proporsional dengan berfoya-foya. Dalam tradisi santri pesantren salaf ada adagium:"kalau cukup dengan uanh seribu, mengapa harus maksa dua ribu". Bisa dipahami hal itu sebagai dorongan untuk hidup sederhana. Bahwa ada atau tidak ada rejeki orang bertindak sama. Ketika melimpah atau saat kekurangan sikap seseorang cenderung sama. Yang demikian adalah gambaran kecil dari sosok orang yang sederhana.
Itulah beberapa hal yang mendorong agar rejeki yanh didapat menjadi berkah bahkan melimpah. Sebab rumus baku rejeki adalah "tidak ada orang yang karena zakat atau sedekah lalu menjadi bangkrut dan papa". Cuma faktornya adalah keyakinan dan iman.
Betapa para pembaca menghendaki jenis rejeki yang berkah. Apapun profesinya yang jelas dari jalan halal untuk dipergunakan oleh diri sendiri, oleh keluarga dan bisa berbagi dengan oranglain. Betapa bahagia menemukan jenis rejeki berkah yang meski sedikit mendatangkan kebahagiaan, kesehatan diri dan keluarga, anak-anak yang cerdas dan soleh serta bersemangat ibadah terhindar dari keburukan dan maksiat. Terutama jenis harta atau rejeki yang kelak menyelamatkan empunya dari api neraka, bukan malah sebaliknya. Wallahu A'lam.
Di sekitar kita, sering ditemukan fenomena terbalik; orang-orang yang dianggap sukses dan berlimpah harta ternyata kenyataannya dililit utang orang besar. Para miliuner yang nampaknya mewah tiba-tiba bangkrut, rumah disita, mobil diambil, dan pekerjaan di PHK. Atau, orang-orang yang punya usaha besar, penghasilan besar tiba-tiba bangkrut dan sengsara, atau minimal tiba-tiba sepi, cekak, dan dililit utang.
Fenomena seperti itu tak jarang bahkan banyak ditemui. Dalam analisis saya di sini bukan kapasitas untuk mengorek penyebab dari fenomena itu, tetapi saya akan menulis dalam frame agama mengantisipasi fenomena itu dengan beberapa hal yang mengacu pada hadits dan fakta. Mohon maaf jika pembaca di sini tak menemukan ayat atau hadits sebab saya menganggap pembaca sudah lebih cerdas menelaah. Saya hanya akan menyitir keduanya itu sebagai bahasa interpretasi saya sendiri.
Mari kita definisikan secara lugas makna dari berkah. Berkah ialah bertambah kebaikan. Sesuatu yang bertambah kebaikannya dapat dikatakan berkah. Misalnya, semenjak menikah, seorang pemuda makin rajin ibadah. Itu artinya pernikahan yang berkah. Atau, semenjak punya laba besar, seorang pedagang makin rajin sedekah. Jadi, berkah bisa dimaknai bertambahnya materi atau dimaknai sebagai bertambahnya ibadah dan kebaikan. Kira-kira demikian.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi rejeki kurang berkah dalam hal rejeki. Pertama, rejeki yang di dapat dari jalan haram. Misalnya dari berjudi, mencuri, menipu, atau.korupsi. Jenis rejeki ini jelas haram. Alih-alih bertambah kebaikan, kecuali hanya bertambah nominal itupun harus dibarengi dengan bencana musibah. Terkadang Allah menegur orang yang melakukannya melalui penyakit, musibah, atau petaka. Naudzubillah. Rejeki yang didapat dari jalan haram ibarat api, boro-boro berkah malah justru membakar orang yang melakukannya, orang yang memakannya, termasuk anak, istri, dan keluarganya. Berhati-hatilah dengan rejeki jenis ini. Pelajarilah seluk beluk penipuan, perjudian, atau jenis-jenis korupsi dalam usaha agar tidak tejebak dalam rejeki haram yang tidak berkah itu.
Kedua, rejeki halal namun tidak dibersihkan melalui zakat atau sedekah. Mafhum bahwa dalam rejeki yang didapat ada setidaknya 2,5% hak orang-orang lemah yang disebut mustahiq zakat, yaitu mereka orang-orang yang berhak menerima zakat. Perumpamaan sederhana, alokasi 2,5 persen itu ibarat kotoran yang jika tidak dikeluarkan maka akan menjadi penyakit. Mengenai ketentuan zakat bolehlah dipelajari di tempat lain atau langsung tanya ustadz kiai. Namun hemat saya bahwa meski rejeki yang didapat tak wajib zakat karena tidak nisab, tetap saja sebaiknya tetap dibersihkan 2,5 persen sebagai sedekah. Ini penting dilakukan agar rejeki betul-betul bersih yang pada gilirannya menjadi rejeki berkah.
Ketiga, rejeki berkah ialah rejeki yang ada unsur berbagi di luar zakat yang ditentukan setara hibah, wakaf dan semacamnya. Sebab tegas dalam hadits bahwa rejeki yang sesungguhnya dimiliki dan abadi ialah rejeki yang diinfaqkan dan bukan yang disimpan.
Keempat, bagi yang masih punya orangtua, keberkahan rejeki juga dipengaruhi seberapa besar ridha orangtua. Artinya, limpahan harta dan rejeki harus ada alokasi memberi pada orangtua, atau setidaknya orangtua merasakan sedikit banyaknya rejeki itu. Sebab kerelaan, ridha, dan kebahagiaan orangtua juga sebagai faktor penting yang menjadikan rejeki berkah.
Keempat, amanah dalam mempergunakan rejeki. Dalam pandangan ini penting kiranya memahamk bahwa rejeki yang dimiliki adalah titipan Allah yanh sejatinya dipakai seefektif mungkin untuk tujuan beribadah. Itu artinya, bahwa rejeki dari Allah bukan untuk gaya-gayaan, bersenang-senang apalagi berfoya-foya. Bukan dalam arti tidak boleh merasakan kesenangan dunia melalui limpahan rejeki, akan tetapi menurut saya tipis jaraknya antara bersenang-senang secara proporsional dengan berfoya-foya. Dalam tradisi santri pesantren salaf ada adagium:"kalau cukup dengan uanh seribu, mengapa harus maksa dua ribu". Bisa dipahami hal itu sebagai dorongan untuk hidup sederhana. Bahwa ada atau tidak ada rejeki orang bertindak sama. Ketika melimpah atau saat kekurangan sikap seseorang cenderung sama. Yang demikian adalah gambaran kecil dari sosok orang yang sederhana.
Itulah beberapa hal yang mendorong agar rejeki yanh didapat menjadi berkah bahkan melimpah. Sebab rumus baku rejeki adalah "tidak ada orang yang karena zakat atau sedekah lalu menjadi bangkrut dan papa". Cuma faktornya adalah keyakinan dan iman.
Betapa para pembaca menghendaki jenis rejeki yang berkah. Apapun profesinya yang jelas dari jalan halal untuk dipergunakan oleh diri sendiri, oleh keluarga dan bisa berbagi dengan oranglain. Betapa bahagia menemukan jenis rejeki berkah yang meski sedikit mendatangkan kebahagiaan, kesehatan diri dan keluarga, anak-anak yang cerdas dan soleh serta bersemangat ibadah terhindar dari keburukan dan maksiat. Terutama jenis harta atau rejeki yang kelak menyelamatkan empunya dari api neraka, bukan malah sebaliknya. Wallahu A'lam.