Blogger Jateng

KEGELISAHAN SANTRI


Beberapa tahun setelah saya lulus kuliah, saya terjun di masyarakat. Pengetahuan dan pengalaman yang saya dapatkan di pesantren dan bangku kuliah saya coba terapkan di tengah masyarakat. Namun ternyata cukup banyak mengalami ujian. Seperti lumrah saya dengar dari alumni atau senior, idealitas seringkali bertentangan dengan fakta di lapangan. Itulah pula yang saya rasakan sekarang. Hingga beberapa tahun kemudian, tepatnya kurang lebih 4 tahun saya memutuskan untuk terjun ke dunia pendidikan umum dan nyaris meninggalkan dunia pesantren dan berperan di masyarakat.

Yang paling saya rasakan adalah persoalan akhlak. Ternyata zaman ini banyak terdapat santri atau bahkan kiai yang, menurut saya, tidak atau belum mencerminkan akhlak seorang ahli ilmu atau seorang pewaris Nabi.

Mengapa saya mengatakan demikian tentu bukan tanpa alasan dan bukti. Begitupun bahwa argumen yang saya sampaikan disini bisa jadi subjektif. Namun saya punya patolkan umum, bahwa akhlak berbeda dengan pengetahuan dan fikih. Nah, yang saya jumpai di masyarakat, para tokoh agama dan orang alim saya pandang mumpuni dalam bidang pengetahuan agama. Dari mulai fiqh hingga tasawwuf bahkan ilmu bahasa. Namun, berseberangan dengan kemampuan itu, perilaku yang ditampakkan seringkali sebaliknya. Banyak kasus ketika seorang santri tetapi berani tipu sana sini. Seringkali pula nampak seorang alim yang dalam pengabdiannya ke masyarakat mengharapkan imbalan atau upah. Contoh kecil itu saja, menurut saya orang bodoh, sudah mengkhianati semangat pengabdian dan keteladanan dari Rasulullah.

Kegelisahan saya mewakili banyak kegelisahan santri yang lain pula. Asumsi itu saya dapat dari perbincangan ringan sesama alumni santri yang sepaham dengan saya. Kegelisahan saya adalah kegelisahan sebagian masyarakat dimana mereka merasakan bahwa panutan umat seringkali mencontohkan hal-hal yang kurang baik. Dalam bahasa lain, lebih banyak kata-kata atau pengetahuan daripada bukti atau praktik dari apa yang mereka sampaikan kepada umat.