Blogger Jateng

Meratapi Nasib “Pahlawan Devisa Negara”

Beberapa hari yang lalu kita dikejutkan dengan berita penganiayaan yang berujung kematian pada seorang TKW asal Jember. Muka dan tubuhnya remuk-lebam akibat penyiksaan yang dilakukan oleh majikannya di Malaysia. Sebuah tragedi yang sungguh memilukan dan menarik simpati segenap Bangsa ini.
Tenaga kerja Indonesia (TKI) punya jasa besar meningkatkan devisa negara. Mereka dielu-elukan sebagai pahlawan devisa negara sebab jasanya itu. Sebab faktanya, pendapatan devisa diperoleh dari sektor tenaga kerja luar negeri.
Berkebalikan dengan itu, nasib TKW diujung tanduk. Perlindungan keselamatan dan hak-hak mereka terancam. Selama ini, perundang-undangan yang mengatur itu belum sepenuhnya mampu memproteksi segala tindak kekerasan terhadap TKW. Kalaupun telah ada perundangan yang selama ini dipakai, nyatanya kurang maksimal dijalankan. Akibatnya, berita kekerasan dan pelanggaran atas hak-hak para TKI masih sering memenuhi ruang dengar publik.
Masih lekat dalam ingatan bagaimana kondisi Hajar, seorang TKW asal Garut di negeri Jiran, lebam-remuk sebab penyiksaan sang majikan. Sampai-sampai kegetiran itu mengusik presiden turut campur menginstruksikan kedutaan Indonesia untuk mengusut tuntas kejahatan itu (Pikiran Rakyat, 15 Juni 2009). Itu sebagian realitas saja. Masih banyak tragedi yang juga terjadi kepada para TKW kita di tempat lain. Belum lagi masalah TKW selesai, masalah human trafficking (perdagangan manusia) mengemuka. 58 WNI berhasil diselamatkan dan dikembalikan ke Indonesia oleh KBRI Malaysia. Ironisnya, 58 orang korban itu semuanya adalah kaum perempuan (Radar Cirebon, 27 Oktober 2009).
Memang, TKI di luar negeri didominasi oleh perempuan. Kebanyakan dari perempuan bekerja sebagai pegawai rumah tangga (PRT) dan sebagian kecil sebagai buruh pabrik. Rendahnya tingkat pendidikan TKW bisa jadi menjadi salah satu alasan maraknya pelecehan dan tindak kekerasan terhadap mereka itu.
Problem kekerasan terhadap TKW kita di luar Negeri menjadi fenomena yang menggurita dan tak kunjung usai. Ribuan TKW tiap tahun dikirim ke pelbagai negara, di saat itu pula selalu muncul persoalan kekerasan, pelecehan, atau perampasan hak-hak mereka. Kalau sudah begitu, seringkali kita hanya bisa meratapi nasib saudara-saudara kita itu.
Setidaknya ada tiga hal pokok mengapa nasib TKW di luar negeri tak kunjung membaik dan selalu menjadi korban tindak kekerasan. Pertama, TKW yang berangkat ke luar negeri mayoritas berpendidikan dan skill rendah. Keberangkatan mereka banyak yang melulu dilatari oleh kenekatan bukan kapasitas dan kecakapan skill mereka. Akibatnya majikan atau perusahaan cenderung meremehkan keberadaan mereka. Pada saat itulah tindak kekerasan atas mereka mudah sekali terjadi.
Kedua, banyak TKW ilegal. Akibat pikiran nekat, banyak calon TKW asal-asalan menggunakan jasa pengiriman tenaga kerja. Kadang instansi ilegal yang hanya mengeruk keuntungan dan sama sekali tidak memperhatikan keselamatan klien. Karena proses pengurusan yang ilegal, ilegal pula kemudian keberadaan para TKW di negara tujuan. Tak jarang mereka menjadi korban perdagangan manusia. Akibatnya, nasib keselamatan mereka terkatung-katung.
Ketiga, perundang-undangan yang mengatur TKI/TKW belum komplit dan pelaksanaannya di lapangan terkesan tidak tegas. Kasus penganiayaan TKW kita di Arab beberapa bulan lalu menguak fakta kendurnya (instansi) pemerintah dalam mengurusi TKW.
Dua sebab yang terakhir mengerucut pada tuntutan kesungguhan pemerintah dalam mengurusi para pahlawan devisa itu. Maraknya perdagangan manusia, instansi atau organisasi ilegal penyalur tenaga kerja ke luar negeri, dan terkatung-katungnya penegakan keadilan atas pelaku kekerasan dan pelecehan TKW, salah satunya, bersumber dari ketidak tegasan pemerintah dalam menyikapinya.
Cukuplah kasus penganiayaan TKW asal Jember itu. Cukuplah berita dipulangkannya 58 TKW korban trafficking itu dan tak usah terulang kembali. Tinggal pemerintah segera tegas mengurusinya, membuat perundang-undangannya, dan melaksanakan perundang-undangan itu di lapangan.
Di samping itu, butuh adanya penyadaran dari pelbagai elemen masyarakat bahwa menjadi TKW/TKI tanpa skill mumpuni bukan solusi hidup yang tepat. Alih-alih mujur dan “emas” yang didapat, kebuntungan dan nasib sial penyiksaan yang didapat.
Adanya sinergisitas antara usaha penyadaran oleh masyarakat dengan keseriusan serta ketegasan pemerintah menyikapi pelbagai persoalan yang menyelimuti nasib TKW adalah merupakan titik terang bagi perbaikan nasib para pahlawan devisa kita di negeri orang.