Blogger Jateng

Kabar Kematian Nurani Dunia Pendidikan Kita


Alkisah, seorang santri—katakanlah Murapi--dibarengi bapaknya mator ke kiai yang tak lain pengasuh pesantren yang ditempatinya itu. Dengan sedikit sungkan, Pak Murapi menghaturkan permohonan maaf pada kiai itu sebab dirinya tak mampu membeli kitab yang akan diajarkan kiai bagi Murapi. Kesulitan ekonomi yang membelit keluarga menyebabkan Pak Murapi tak mampu membeli kitab untuk anaknya itu. Pak Murapi menuturkan ketidakmampuan itu dengan terbata-bata. Bukan karena sedih atau direkayasa, tetapi ia takut kiai marah.

Lumrahnya, dahulu kiai adalah pengajar (baca: pendidik) sekaligus ’penjual’ kitab yang akan diajarkan. Ketakmampuan membeli kitab tentu membuat malu Murapi dan Bapaknya. Ketakmampuan itu juga seolah menunjukkan ketidakseriusan Pak Murapi memondokkan anak semata wayangnya itu. Sementara Murapi tertegun dan tertunduk, khidmat, takdzim, tak bicara sepatah kata pun.

Selesai menyimak penuturan wali santri itu, sang kiai diam, termenung sejenak. Nampak ada cahaya kejujuran dari penuturan Pak Murapi yang ditangkap sang kiai. Tanpa dinyana, Sang Kiai menjawab, Murapi tidak usah membayar uang kitab. Sang Kiai secara cuma-cuma memberikan kitab yang akan diajarkan itu kepada Murapi tanpa sepeser pun meminta bayaran.

***

Cerita di atas adalah fakta yang saya dapat dari seorang guru ngaji di pesantren. Sengaja saya kutip demi menghadirkan nuansa hakekat pendidikan yang selama ini ditradisikan. Pendidikan yang sarat nilai kejujuran, kebijaksanaan, kesederhanaan, dan tanggungjawab. Saya juga ingin mengatakan bahwa Fakta di atas juga menggambarkan sebuah realitas pendidikan non-komersil yang sejatinya menjadi inti dari berjalannya proses pendidikan.

Bertolak-belakang dengan cerita di atas, realitas pendidikan bangsa kita disesaki dengan praktik ‘jual beli’. Dunia pendidikan laiknya pasar dan anak didik, sebagai generasi penerus bangsa, adalah pangsa pasar empuk. Akibatnya, yang dominan berlaku di sekolah adalah praktik ekonomi. Kalau sudah demikian, si anak miskin haram belajar di sekolah unggulan. Sebab sekolah-sekolah unggulan hanya dapat dinikmati dengan garansi biaya yang melangit dan tak manusiawi. Dunia pendidikan bangsa ini nampak tak lagi punya hati nurani.

Sementara itu, para birokrasi sebagai abdi rakyat nampaknya tak terlalu ambil pusing dengan persoalan itu. Meraka tak serius mengurusi pendidikan. Korupsi, intrik, dan manipulasi adalah term yang juga biasa kita dengar dalam masalah pendidikan. Alih-alih, mereka menjadikan dunia pendidikan sebagai ladang untuk mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan sembari lupa (lebih tepatnya gila) bahwa yang mereka keruk adalah masa depan generasi bangsa, masa depan bangsanya sendiri. Otonomi pendidikan barangkali memberi celah bagi munculnya kreativitas lokal mengelola dunia pendidikan. Tetapi Badan Hukum Pendidikan (BPH) yang baru-baru ini ’diluncurkan’ adalah duri sekaligus benih bagi tumbuhnya praktik jual-beli pendidikan.

Para abdi rakyat sepertinya harus diingatkan lagi bahwa ada 40 juta lebih masyarakat bangsa ini berstatus orang miskin (Jawa Pos, 3 Juli 2007). Bayangkan, berapa anak yang terlantar akibat komersialisasi pendidikan yang—sengaja atau tidak—disuburkan dengan kebijakan, malpraktik birokrasi dan pihak sekolah yang mereka lakukan. Kalau sudah begitu, bagaimana nasib mereka yang tak mampu membayar SPP, iuran sekolah, buku paket dan LKS? Apakah mereka tidak boleh mencicipi sekolah dan tidak boleh pintar? Apakah mereka akan dibiarkan menjadi bodoh dan terbelakang sebagaimana mayoritas orangtua mereka yang miskin hanya gara-gara tidak punya uang?