Beberapa tahun
setelah saya lulus kuliah, saya terjun di masyarakat. Pengetahuan dan
pengalaman yang saya dapatkan di pesantren dan bangku kuliah saya coba terapkan
di tengah masyarakat. Namun ternyata cukup banyak mengalami ujian. Seperti lumrah
saya dengar dari alumni atau senior, idealitas seringkali bertentangan dengan
fakta di lapangan. Itulah pula yang saya rasakan sekarang. Hingga beberapa
tahun kemudian, tepatnya kurang lebih 4 tahun saya memutuskan untuk terjun ke
dunia pendidikan umum dan nyaris meninggalkan dunia pesantren dan berperan di
masyarakat.
Yang paling saya
rasakan adalah persoalan akhlak. Ternyata zaman ini banyak terdapat santri atau
bahkan kiai yang, menurut saya, tidak atau belum mencerminkan akhlak seorang
ahli ilmu atau seorang pewaris Nabi.
Mengapa saya
mengatakan demikian tentu bukan tanpa alasan dan bukti. Begitupun bahwa argumen
yang saya sampaikan disini bisa jadi subjektif. Namun saya punya patolkan umum,
bahwa akhlak berbeda dengan pengetahuan dan fikih. Nah, yang saya jumpai di
masyarakat, para tokoh agama dan orang alim saya pandang mumpuni dalam bidang
pengetahuan agama. Dari mulai fiqh hingga tasawwuf bahkan ilmu bahasa. Namun,
berseberangan dengan kemampuan itu, perilaku yang ditampakkan seringkali
sebaliknya. Banyak kasus ketika seorang santri tetapi berani tipu sana sini. Seringkali
pula nampak seorang alim yang dalam pengabdiannya ke masyarakat mengharapkan
imbalan atau upah. Contoh kecil itu saja, menurut saya orang bodoh, sudah
mengkhianati semangat pengabdian dan keteladanan dari Rasulullah.
Kegelisahan saya
mewakili banyak kegelisahan santri yang lain pula. Asumsi itu saya dapat dari
perbincangan ringan sesama alumni santri yang sepaham dengan saya. Kegelisahan saya
adalah kegelisahan sebagian masyarakat dimana mereka merasakan bahwa panutan
umat seringkali mencontohkan hal-hal yang kurang baik. Dalam bahasa lain, lebih
banyak kata-kata atau pengetahuan daripada bukti atau praktik dari apa yang
mereka sampaikan kepada umat.