Nyaris di seluruh wilayah di Indonesia, tengah hangat dengan hiruk-pikuk tes calon pegawai negeri sipil (CPNS). Pemda di tiap daerah se-Indonesia maupun Departemen Agama (Depag) mengadakan penjaringan bagi calon PNS baru. Sebuah ‘rutinitas’ tahunan yang lumrah sebagai kesempatan bagi para pencari kerja, terutama bagi para sarjana.
Status sebagai pegawai negeri saat ini ramai peminat. Sebab gaji yang lumayan besar dan prestise di tengah masyarakat yang juga lumayan ‘diperhitungkan’. Tak heran kalau kerap kita saksikan, tiap penjaringan CPNS di tiap daerah menarik ribuan para pencari kerja untuk menjajaki nasib dan keberuntungan.
Sekedar menyebut informasi, hingga saat ini, Depag membutuhkan 182 orang CPNS untuk berbagai formasi yang akan disebar di pelbagai wilayah kota dan kabupaten se-Jawa Barat. Itu berarti peluang besar bagi para pencari kerja untuk mengisi lowongan-lowongan yang tersedia itu. Belum lagi pelbagai formasi dan lowongan di masing-masing pemerintah daerah (Pemda).
Saking ‘favoritnya’ status sebagai CPNS memunculkan rasio kesempatan kerja (formasi CPNS) dengan jumlah pencari kerja kontras jomplang. Tak jarang, bagi satu lowongan formasi bisa mencapai 500 peminat atau bahkan lebih. Bayangkan! Sebuah perbandingan yang nampak ‘gila’.
Salah satu status yang banyak diminati adalah menjadi guru PNS. Kenyataan itu dapat dikatakan lumrah. Sebab guru kini mendapat tempat terhormat dan gaji yang cukup besar. Berbeda dengan dulu, kini guru seperti anak emas. Di samping gaji dan tunjangan yang naik dibanding masa pra-reformasi, guru juga diuntungkan dengan adanya program sertifikasi. Bagi guru PNS sekarang, tak berlaku lagi lantunan lagu Umar Bakri-nya Iwan Fals yang mendendangkan ‘kesengsaraan’ dan keterpinggiran posisi guru.
Membludaknya peminat menjadi CPNS utamanya disebabkan oleh sarjana-sarjana yang makin bertebaran di negeri ini. Fakta bahwa angka kelulusan sarjana yang makin tinggi dengan tanpa diimbangi lahan pekerjaan yang memadai. Menjamurnya perguruan tinggi di negeri ini satu sisi menjadi sinyal positif bahwa sebuah masyarakat yang lekat dengan dunia pendidikan dan kemajuan zaman di negeri ini tengah dimulai. Namun di sisi lain menghadirkan persoalan: kesempatan kerja yang makin sempit akibat kesenjangan antara kuantitas para lulusan perguruan tinggi dengan lowongan pekerjaan yang ada.
Regenerasi Tubuh Birokrasi
Abaikan sejenak hiruk-pikuk tes CPNS dengan segala lika-likunya itu! Sebab, bagaimana pun, hal semacam itu telah menjadi kemestian dari sebuah dinamika hidup dan dinamika birokrasi pemerintahan Bangsa ini.
Sesungguhnya apa yang paling mendasar dari CPNS, salah satunya, adalah masalah regenerasi di tubuh birokrasi. Banyaknya pejabat sipil yang telah ‘istirahat’ dan menjalani masa pensiun serta kekurangan tenaga pelayanan publik dalam pelbagai ranah menjadi alasan mendasar penjaringan CPNS dilakukan. Sebagai contoh, 25 orang kepala sekolah di kabupaten Tasikmalaya tengah menjalani proses menuju pensiun (Radar Cirebon, 8 Oktober 2009). Oleh karena itu butuh banyak tenaga dan ‘mesin-mesin’ baru sebagai pengganti. Agar roda birokrasi terus berjalan, bahkan lebih dinamis dan maju.
Tentunya pergantian atau regenerasi semacam itu menjadi sinyalemen positif bagi tumbuhnya model birokrasi yang dinamis dan ‘segar’. Sebab kemandekkan regenerasi dan bertahannya status quo lebih mendekati rigiditas dan terganggunya kedinamisan sebuah organisasi (baca: instansi). Di samping fakta banyak anak-anak muda energik yang siap menggantikan posisi mereka di birokrasi.
Sebuah kabar baru-baru ini menarik perhatian banyak orang, terutama bagi wilayah Cirebon dan sekitarnya. Beberapa pejabat teras di beberapa instansi di kabupaten Cirebon yang sedianya sampai pada masa pensiun malah diisukan akan diperpanjang masa kerjanya. Sebuah rubrik bagi opini publik dihadirkan di koran Radar guna mengukur kelayakan isu perpanjangan masa jabatan tersebut.
Sebagian besar orang membaca, ‘panasnya’ wacana perpanjangan masa jabatan itu tidak lebih dari kepentingan politik. Dapat dipahami jika wacana itu melahirkan kegeraman banyak pihak, sebab dengan demikian otomatis regenerasi birokrasi terhambat. Sa’durrofik menyebut kebijakan perpanjangan masa jabatan tersebut sebagai salah satu bentuk pendzaliman terhadap para pejabat yang berada di bawahnya (Radar Cirebon, 8 Oktober 2009).
Yang mendasar dari ‘kasus’ itu adalah peran vital adanya regenerasi bagi perbaikan dan kesehatan birokrasi. Tanpa regenerasi yang baik, sebuah organisasi atau instansi akan cenderung rigid, mandek dan merupakan bentuk ‘kerajaan status quo’.
Tes CPNS dan regenerasi di tubuh birokrasi menemukan kaitan benang merahnya pada perbaikan pelayanan dan kinerja organisasi atau instansi pemerintahan. Penjaringan CPNS adalah sebuah usaha penyegaran birokrasi dan menghindari status quo dalam pemerintahan.
Ala kulli hal, apresiasi positif para sarjana mencari peruntungan dalam tes CPNS dapat pula dipandang sebagai sebuah usaha regenerasi yang patut dihargai. Sebab bagi mereka itu, jabatan atau posisi dalam birokrasi yang kosong atau yang sudah saatnya diganti adalah hak yang harus dihormati, dijaga, dan dijunjung tinggi. Jangan sampai hak-hak itu dilanggar dan dijarah hanya karena melulu mendahulukan kepentingan politik dan kepentingan golongan.