Pendahuluan
Di samping kemiskinan dan bobroknya pendidikan, Salah satu problem besar bangsa saat ini adalah akutnya praktek korupsi. Perjalanan orde reformasi yang sebelumnya diramalkan akan mampu mengantarkan bangsa pada situasi yang lebih baik ternyata tidak bisa sepenuhnya dikatakan berhasil—kalau malah justru dikatakan gagal. Tuntutan reformasi terhadap pemberantasan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) hanya berakhir pada level wacana atau paling banter didengungkan dalam setiap demonstrasi anti korupsi. Korupsi telah menjadi semacam virus akut yang tak satu antivirus pun bisa memberantasnya sampai tuntas.
Data Transparency International Indonesia (TII) tahun 2001 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-4 negara terkorup di dunia. Lebih parah lagi, PERC di tahun yang sama menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup ke-2 sedunia.
Korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang tak termaafkan. Miliaran bahkan triliunan uang rakyat amblas ke kantong pribadi para koruptor. Karena itu Korupsi tak boleh hanya dilihat sebagai pencurian biasa, lantaran uang yang dicuri adalah uang milik jutaan rakyat yang sebenarnya paling berhak atas uang itu.
Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, uang bangsa kita telah dirampok oleh para koruptor sedikitnya US$ 40 miliar.[1] Saking akutnya korupsi di negeri ini, Indonesia mendapatkan kehormatan untuk menjadi salah satu Negara terkorup di dunia. Sungguh prestasi yang memalukan!
Anehnya, lembaga atau institusi yang memiliki tanggung jawab memberantas korupsi di negeri ini yaitu peradilan malah dinobatkan sebagai salah satu dari sepuluh institusi terkorup. Hal itu dibuktikan dengan data dari Transparency International Indonesia (TII) yang memaparkan bahwa lembaga peradilan ternyata memiliki inisiatif tertinggi dalam melakukan transaksi suap menyuap (beribery), bahkan sampai pada tingkat yang paling tinggi, 100%. Lebih dari empat dari sepuluh keluarga yang menuntut keadilan terpaksa harus melalui jalan belakang (suap)[2].
Dari sudut pandang ekonomi, korupsi telah berhasil menghambat laju ekonomi bangsa ini. Krisis moneter yang selama ini dijadikan alasan mandeknya laju ekonomi hanya sebagai kambing hitam dari tumpukan penyebab sebenarnya—termasuk salah satunya adalah korupsi. Korupsi telah menyebabkan lemahnya perlindungan atas hak milik dan misalokasi sumber daya ekonomi lantaran, melalui kekuasaan, para birokrat dengan leluasa mengeruk uang rakyat dan menyimpannya di kantong dan saku pribadi.[3]
Realitas yang seperti ini mengindikasikan nihilnya political will pemerintah untuk membumihanguskan korupsi. Kerapkali ada indikasi beberapa kasus korupsi diselesaikan secara “kekeluargaan” para elite politisi adalah bukti kendurnya kemauan penguasa untuk memberantas korupsi. Seperti yang dikatakan Taufik Al-Mubarok, mengapa pemerintah seolah tak berupaya keras memberantas korupsi, karena ternyata tak jarang mereka sendiri terjerat pada lingkaran sistem terjadinya praktek korupsi.[4]
Kenyataan ini tentunya sangat memprihatinkan. Dengan sumber daya alam yang kaya, Indonesia tak mampu menghidupi dapur sendiri dari sumber daya itu dan masih mengandalkan utang luar negeri. Di samping karena inefisiensi penggunaan dana negara sebab pejabatnya bermental korup dan poject oriented, kemiskinan yang tampak saat ini disebabkan karena kekayaan yang berlimpah itu hanya digerogoti oleh para koruptor, para elite ekonomi dan elite politik yang bermain mata dengan para pembesar kapitalisme kelas internasional yang tidak bertanggung jawab[5].
Berbagai cara dilakukan: Hukum diperketat, wacana dan demo anti korupsi tak pernah henti digulirkan, satu-dua koruptor dijebloskan—meski masih terkesan kurang serius. Kenyataannya, korupsi tetap jalan dan tetap menjadi mata pencaharian favorit sebagian kalangan birokrasi dan para elite politik busuk negeri ini.
Agama, sebagai gawang terakhir dari negeri yang—katanya-- “Berketuhanan Yang Maha Esa” seolah tak memiliki taring lagi ketika berhadapan dengan korupsi. Islam, dalam hal ini, seolah hanya sekedar symbol dan tak bisa memberi dampak positif ke arah pemberantasan perilaku korupsi. Para koruptor tetap saja merasa enjoy dan damai melakukan ibadah haji atau umrah dengan uang hasil korupsinya sembari tidak merasa menyesal sedikit pun dengan tindakan korupsinya. Kalau perlu mereka mempertahankan pekerjaan itu yang nantinya, sebagian dari harta curiannya itu, bisa di sumbangkan ke panti asuhan, masjid, mushalla, atau pesantren sebagai penebus dosa korupsinya itu. Ironis.
Berbagai pendekatan Islam terhadap pemberantasan korupsi sepertinya tidak membuahkan hasil yang jelas. Para agamawan, ulama, dan santri tak henti-henti mewacanakan pemberantasan korupsi dengan berbagai pendekatan keagamaan sekaligus menghadirkan solusinya. Tetapi hal itu pada akhirnya hanya berujung di selembar surat kabar atau majalah dan terpenjara pada perdebatan teori serta analisis masalah korupsi. Sementara aplikasi teori pemberantasan korupsi yang bergerak pada wilayah riil malah terlupakan. Dengan demikian, sepertinya segala pendekatan Islam terhadap korupsi adalah sebuah kesia-siaan saja.
Lalu apa yang mesti dilakukan? apa ada yang keliru dengan pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam? atau Cuma persoalan pembumian sekaligus internalisasi nilai-nilai keIslaman saja yang kendur? Persoalan yang menggurita di kalangan muslim dalam tujuan memberantas korupsi jangan sampai menyurutkan tekad untuk berhenti berjihad melawan korupsi. Karena itu tulisan ini sebisa mungkin menggagas hal yang baru atau, tanpa merasa malu, merangkum ceceran gagasan-gagasan terkait dengan pemberantasan korupsi. Sebuah gagasan, ide, atau cara apapun untuk membumihanguskan korupsi selama masih dianggap realitis dan bisa dicoba, tak ada salahnya untuk terus dikembangkan sembari tak henti mempraktekkannya dalam realitas.
Tulisan ini selanjutnya akan terkonsentrasi pada ketiga pertanyataan di atas sekaligus menggali lebih dalam nilai-nilai Islam yang darinya korupsi bias dibaca penyebabnya. Pada gilirannya nanti akan ditemukan solusi yang tepat dan betul-betul bisa direalisasikan di lapangan dan tidak hanya menjadi sebatas wacana.
Korupsi: Pengertian Dan Penyebabnya Dalam Kacamata Islam.
Sebelum menelisik lebih dalam lagi korupsi, penegasan pandangan Islam terkait dengan term dan pengertian korupsi tentunya layak dikedepankan untuk dibahas. Setidaknya akan ditemukan gambaran jelas tentang korupsi dan penyebab yang melatarinya melalui sudut pandang Islam.
Dengan menggunakan qiyas, Korupsi adalah kata lain dari mencuri. Mengenai dosa mencuri beberapa ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan dosa kecil karena menurut mereka dosa besar adalah musyrik. Ada juga yang mengatakan dosa besar ketika akibat dari pencurian itu mendzalimi banyak orang dan menghadirkan kerugian besar-basaran. Menurut Al-Ghazali, Imam Haramain dan al-Razi, besar kecilnya dosa tergantung pada akibat yang ditimbulkannya sekaligus diukur dari pengkhianatannya terhadap ajaran Islam[6].
Korupsi dalam hal ini tentu lebih tepat dikatakan sebagai dosa besar karena akibat yang ditimbulkannya tidak hanya pada perseorangan tetapi umat secara kolektif. Uang rakyat adalah amanat yang harus digunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Pengkhianatan akan amanah ini dengan mengorupsinya merupakan bentuk lain dari mendzalimi umat. Kedzaliman, dalam bentuk apapun, apalagi menyangkut umat adalah dosa besar.[7]
Memahami Transformasi Korupsi
Persoalannya, praktek korupsi ternyata tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor internal diri manusia seperti yang dipaparkan tadi, tetapi juga faktor eksternal yang meliputi sistem dan “kultur”. Pramoedya Ananta Toer, dalam novelnya, membahasakan peningkatan itu dengan transformasi korupsi dari penyakit yang sifatnya personal individual ke arah kolektif-struktural.[8] Korupsi sedemikian mengguritanya menjadi problem sosial politik yang rumit dan berakar kuat pada sistem. Kini, korupsi sebanding dengan kejahatan rapih sistemik dan terorganisir (white collar crime). Meski sampai saat ini, belum ada jejaring para koruptor yang berhasil dikuak lantaran kerumitan dan kerapihan praktek tersebut. Biasanya para koruptor berjamaah ini memiliki jaringan yang kuat di kalangan atas dan bawah.
Secara spesifik setidaknya ada beberapa sebab terjadinya tindak korupsi. Sepertinya, (1) sistem yang mendunia saat ini telah membentuk—sengaja atau tidak—keadaan yang kondusif bagi maraknya korupsi. Sistem kapitalis dengan politik dagang sapinya menimbulkan maraknya jual beli politik yang tentunya membutuhkan dana yang sangat besar. Karena demikian, kekuasaan atau jabatan publik yang tengah disandang dijadikan kesempatan untuk membeli sapi demi kelanggengan kekuasaan. Tentunya, bila perlu—dan memang perlu—melakukan korupsi sebagai modal membeli sapi.
Disamping itu, faktor internal dalam diri koruptor juga sangat berperan penting. Para birokrat yang duduk dalam jabatan-jabatan publik tak lagi berfikir bagaimana melayani rakyat dan mengabdikan diri demi kepentingan bangsa. Justru sebaliknya, mereka berpikir bagaimana memperbesar perut dan kantong mereka sendiri. Bahwa masing-masing personal pengemban tugas melayani rakyat tidak amanah menjalankan tanggungjawabnya. Justru malah menyelewengkannya demi kepentingan pribadi. Ini tentunya menjadi analisis internal pribadi yang menyangkut keimanan, ketakwaan dan moralitas seseorang sebagai manusia. Akibatnya, sebagus apapun hukum dibuat dan dilengkapi demi untuk menjerat dan menghimpit tikus berdasi putih tentu tidak akan memberikan dampak yang signifikan—kalau malah tidak ada gunanya—dan terkesan sangat tidak efektif. Sejak reformasi saja, telah keluar 2 TAP MPR, lima UU ditetapkan, lima PP dikeluarkan, satu Kepres dan satu Inpres telah ditandatangani. Namun, korupsi tetap jalan. Bahkan ada kesan bahwa UU yang ada justru untuk melindungi para koruptor.
Analisis terakhir, Ada semacam jejaring para koruptor yang tersusun rapi dan sistemik. Maksudnya, korupsi secara langsung atau tidak langsung, kultural baik struktural, seolah “diajarkan” dari generasi ke generasi secara turun temurun. Kata pengajaran tarekat ini dipahami dari budaya birokrat yang sudah begitu akut dan sulit untuk dirombak. Ironisnya, sebagian besar masyarakat kadang memaklumi kenyataan itu sembari terus mempersubur praktek korupsi. Misalnya saja, masyarakat sudah merasa lumrah ketika dimintai sumbangan oleh pejabat untuk pelayanan publik yang dikehendaki. Padahal pelayanan publik adalah hak mereka tanpa harus membayar apapun. Karena pejabat publik telah digaji oleh negara.
Anehnya, masyarakat dengan mudah menyanjung dan memuji para koruptor ketika mereka telah menyumbang dana ke masjid, mushalla, atau pesantren. Malah mereka disebut-sebut sebagai dermawan. Darmaningtyas menganggap kebiasaan yang seperti ini sebagai biang keladi dari korupsi. Karena dengan sumbangan—dan atau apapun namanya—para pejabat sangat mungkin melakukan korupsi untuk “mengganti” kerugiaannya (yang diberikan sebagai sumbangan kepada masyarkat) itu[9]. Begitu njelimet-nya persoalan korupsi di negeri ini.
Solusinya, harus ada pisau, gergaji, atau bom yang mampu memutus praktek pewarisan ajaran tarekat korupsi tersebut jika ingin bangsa kita selamat dan maju. Setidaknya ada beberapa pilihan ketika dihadapkan pada pemutusan link setan itu. Pertama pemotongan generasi dan kedua pembersihan secara total tanpa pandang bulu.
Barangkali solusi pertama bisa dianggap terlalu radikal dan utopis. Di samping pertimbangan bahwa generasi baru para birokrat juga tidak menjamin akan bersih dari tindak korupsi. Maka paling tidak cara yang kedua yaitu dengan pembersihan secara total semua koruptor—bila perlu semua birokrat yang terindikasi korupsi. Efektif atau tidaknya cara itu sebenarnya tergantung pada kesungguhan pemerintah dalam memberantas korupsi. Setidaknya cara khalifah Umar Bin Abdul Aziz pada masanya telah berhasil memberantas praktek KKN yang terjadi pada masa kekahlifahan sebelumnya. Dengan ketegasannya, umar bin abdul aziz mampu menciptakan sistem kekhalifahan yang bersih dari praktek korupsi. Umar tidak segan-segan melakukan perombakan besar-besaran pada birokrasi dan sistem waktu yang dinilai korup. Imam as-Suyuhi memberikan ilustrasi ketegasan umar dengan menarik:
Al-Laits berkata, “Tatkala Umar bin Abdul Aziz berkuasa, dia mulai melakukan perbaikan dari kalangan keluarga dan familinya serta membersihkan hal-hal yang tidak beres di lingkaran mereka. Kepada istrinya Khalfah Umar mengatakan, ‘Pilihlah olehmu, engkau mengembalikan harta perhiasan ini ke Baitul Mal atau izinkan aku meninggalkanmu untuk selamanya.”[10]
Pemaparan singkat dan dangkal dengan pendekatan Islam yang apa adanya tentu tidak cukup untuk menguak tuntas praktek kejahatan korupsi. Butuh paradigma dan tafsir baru korupsi. Dengan begitu, disamping mampu memberi pemahaman utuh terhadap tindakan korupsi, juga mampu menggali solusi dari sudut pandang Islam yang lebih revolusioner dan mampu dilaksanakan untuk memberantas korupsi.
Pada dasarnya, wilayah garapan agama adalah persoalan nilai dan norma. Itupun jika sepakat bahwa, secara mendasar, Islam adalah sebuah nilai bukan syariat yang baku. Dengan tanpa ingin mengaburkan makna Islam, saya memahami Islam secara esoterik dan tidak terjebak pada formalisme serta sisi eksoteriknya saja.
Akan tetapi, Meskipun nantinya pembahasan akan lebih banyak bergerak pada wilayah nilai, norma yang tentunya digali dari sumber pokok Islam dengan pendekatan tafsir yang beragam, pembahasan ini juga mencakup peran Islam pada wilayah riil yang tampak—“hardware”—dari sebuah sistem masyarakat muslim. Ini terkait dengan semangat Islam yang revolusioner yang niscaya mengejawantah dalam persoalan-persoalan riil konteks kekinian. Pendeknya, persoalan korupsi disini tidak hanya dititiktekankan pada kekeliruan memahami ajaran dan menyerap nilai Islam semata tetapi juga pada bagaimana memberantas korupsi dengan cara-cara riil yang dilakukan secara berjamaah.
Pendekatan agama dalam membaca korupsi tentunya berada pada wilayah normatif. Lebih dalam lagi bisa diletakkan pada wilayah substansial ketika kita sepakat bahwa Islam bukan syariat tetapi nilai. Jika demikian, persoalan korupsi akan dibongkar dalam lingkaran nilai yang normative sekaligus substansial. Tentunya solusinya juga bukan berupa bentuk kongkrit seperti yang hukum pidana sediakan. Tetapi lebih pada hukuman normatif ketuhanan sekaligus kemasyarakatan, sebagai pengkhianatan nilai dan dehumanisasi kemanusiaan secara menyeluruh sebagai bentuk lain dari kejahatan paling mengerikan abad ini.
Meski demikian, Islam berusaha menyelesaikan persoalan-persoalan, dalam hal ini korupsi, dari segala dimensi. Di samping tinjauan nilai yang normative-substansial yang lebih menitiktekankan pada eksistensi individu serta pertanggungjawabannya secara pribadi, juga mengontrol system dan struktur social. Karena pada kenyataanya, korupsi tidak hanya menjadi kejahatan seorang individu lantaran kekurangtaatannya pada agama, tetapi juga tercipta oleh system yang “mengajarinya” demikian, bahkan secara turun temurun.
Persoalannya, selama ini Islam hanya menyoroti korupsi pada level wacana saja. Yang bisa dilakukan Islam tak lebih dari batas berkoar-koar bahwa korupsi itu haram dan semacamnya. Para ulama, tokoh agamawan, dan masyarakat muslim belum bisa menciptakan sistem atau semacam “konsensus” kultural bahwa korupsi merupakan dosa terbesar kaitannya dengan manusia (Hablun Minannas). Dengan seperti itu, diharapkan akan terbentuk sebuah kontrol sosial yang tinggi antar masyarakat untuk tidak melakukan korupsi.
Para koruptor tentunya memiliki modus operandi yang bermacam-macam ketika melaksanakan aksinya. Tetapi Islam setidaknya memiliki gambaran bahwa segala tindakan pencurian (baca:korupsi) berpangkal pada ketamakan dan hasrat yang berlebihan pada dunia (harta, jabatan atau kekuasaan). Watak dunia memang demikian dalam kacamata agama: senantiasa menggiring pada kenistaan dan kedzaliman. Nabi muhammad seringkali menjelaskan bagaimana dunia, dalam hal ini harta, mampu membutakan mata hati manusia dan menggiring pada perbuatan kejahatan dan kenistaan.[11]
Alqur’an selalu mengingatkan bahwa harta adalah perhiasan sekaligus bisa menjadi fitnah yang acapkali bisa menjerumuskan manusia ke dalam dosa dan kemaksiatan.[12] Lantaran sifat dasar dunia (harta atau uang) yang demikian maka kecelakaan nyata bagi manusia yang menghamba pada harta.[13]
Apalagi sistem kapitalis telah menciptakan jejaring korupsi dengan politik dagang sapi-nya. Power tends to corrupt rasanya menjadi kata-kata yang sangat terasa kebenarannya. Seseorang yang menduduki kursi kekuasaan akan cenderung mempertahankan kekuasaannya atau bahkan meningkatkan kedudukannya. Kecenderungan nafsu manusia yang demikian memaksa pada tingkat menggunakan segala cara, termasuk membeli “sapi politik” dengan uang rakyat yang dicuri dengan menggunakan jabatannya. Seperti kasus yang saya tulis di harian nasional bisa dijadikan sebagai contoh. Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan Dan Perikanan, terbukti korupsi sekaligus membagi-bagikan uang hasil korupsinya itu untuk melanggengkan kedudukannya (dividen politik). Analisis bahkan sampai pada kesimpulan, korupsi tidak lagi hanya melibatkan person-person yang terpisah, tetapi merupakan praktek pencurian berjamaah yang akut.[14]
Korupsi bisa dipahami sebagai ekspresi gila harta dan kesenangan tanpa mau bersusah payah bekerja. Mencuri harta rakyat jelas tindakan keliru sebagai ekses kegilaan tersebut. Para koruptor adalah para hamba harta dan gila untuk mempertahankan kesenangannya hidup materialis dan glamour dengan cara korupsi. Dengan korupsi, koruptor tidak harus bersusah payah mengeluarkan modal untuk mengeruk sebanyak mungkin keuntungan materi. Itu sebabnya, korupsi lebih menjijikan dibanding judi sekalipun.
Yang paling menyakitkan rakyat banyak adalah, jika “kejahatan sosial politik ini” diselesaikan secara “politik”. Selama dua periode Pemerintahan, kasus dana BLBI senantiasa diselesaikan secara politik. Dalam majalah GATRA No. 27 thn XIII, 17-23 Mei 2007, Abdurahman Saleh mengungkapkan, semasa Presiden Megawati dikeluarkan surat keterangan lunas bagi para obligor BLBI. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, kasus BLBI diselesaikan melalui skema “master settlement and acquisition agreement” (MSAA).
Menggagas Tafsir Radikal Atas Korupsi
Islam sepantasnya menghukumi koruptor sebagai pengkhianat agama yang layak dihukum seberat-beratnya. Setidaknya pendapat Asghar Ali Engineer sangat kontekstual mengingat kerusakan yang ditimbulkan tindakan korupsi. Asghar mengukur keimanan dan kekafiran seseorang dari sejauhmana mampu menyumbang pada kesejahteraan dan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Iman atau percaya saja pada Allah tanpa berjuan menegakkan keadilan dan melawan kedzaliman serta penindasan, apalagi kalau justru mendukung sistem dan struktur yang korup, seseorang itu masih tergolong kafir.[15]
Agama semestinya memandang korupsi sebagai tindak kejahatan kemanusiaan bahkan syirik dan termasuk dosa besar yang tak termaafkan. Hal ini didasarkan bahwa manusia adalah Khalifah Allah di bumi. (1) Mengkhianati kepercayaan khalifatullah (baca; rakyat) dan merampok harta milik masyarakat adalah bentuk pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan dalam wajah lain. Ketika orang melakukan korupsi, (2) seolah dia tidak menyadari bahwa tuhan maha melihat dan maha mengetahui. Sampai pada tingkat ini berarti orang tersebut telah sampai pada tingkat ia tidak lagi peduli pada keberadaan Tuhan dan bahkan menafikan kekuasaan dan kemahaan Tuhan. Apa yang demikian tidak termasuk pada tindakan syirik?
Menimbang Hukuman Potong Tangan Bagi Koruptor
Korupsi sama dengan mencuri—jika tidak mau dianggap lebih dari itu. Karenanya, korupsi layak diganjar setimpal dengan kejahatan pencurian. Alqur’an menganjurkan agar pencuri dipotong tangannya.[16] Ulama Hanafiyah adalah golongan yang mematok batasan seberapa besar harta yang dicuri yaitu 10 dirham (setara dengan 27,15 gram).[17] Bahkan, lebih sadis lagi, Abu Hurairah menceritakan hadits: “Allah mengutuk pencuri yang mencuri telur, lalu dipotong tangannya, dan mencuri unta lalu dipotong tangannya”(HR. Bukhari Muslim).[18] Dari kacamata hukum ini, seorang koruptor sudah lebih dari layak untuk mendapatkan hukum potong tangan. Karena harta atau uang yang dicuri dari kas negara milik rakyat sudah lebih dari batasan maksimal para ulama Hanafiyah sekalipun.
Persoalannya, apakah dengan memotong tangan si koruptor secara otomatis akan menghentikan tindak korupsinya itu. Rasanya, pemotongan tangan tidak menjamin bahwa korupsi akan membuat kapok para koruptor dan korupsi betul-betul musnah di negeri ini. Apalagi “pencurian modern” itu tidak secara kasat menggunakan tangannya. Tetapi bisa melalui kebijakan, kesepakatan, dan kesepahaman dengan pihak-pihak tertentu. Makanya, memaknai ayat ini (al-Maidah ayat 38) harus didudukkan dalam konteksnya yang tepat.
Quraish Shihab memaknai faqtha’u aidiyahuma dalam arti majazi. Maksudnya, yang perlu dipotong itu bukan tangan koruptor tetapi kemampuannya, kekuasaannya yang disalahgunakan dan semacamnya.[19] Penafisan ini tentunya sejalan dengan realitas pencurian yang bernama korupsi. Praktek korupsi tumbuh subur dilingkungan sekitar kursi-kursi jabatan. Karena modus laten korupsi adalah menyalahgunakan jabatan.
Menangkap koruptor tidak cukup dengan cara seperti menangkap lele atau membunuh ular: pukul dan tangkap kepalanya. Kepala dan ekor sama-sama berbahaya dan harus dihancurkan semuanya. Karena itu, koruptor—kalau perlu termasuk yang terindikasi korupsi--harus dipecat dengan tidak terhormat dari jabatan yang didudukinya. Dengan begitu ia tidak akan mampu lagi melakukan praktek haram tersebut.
Tak cukup dengan itu, para antek-antek yang terindikasi memiliki “hubungan gelap” dengan koruptor itu juga harus dienyahkan dari sistem birokrasi. Karena bagaimana pun, karakteristik korupsi berjamaah hanya bisa dibumihanguskan dengan cara itu: berani menghancurkan tatanan, mengganti orang-orang yang terbukti—atau bila perlu yang terindikasi--dan menggantinya secara total demi perbaikan.
Dari Fiqih Menuju Sanksi Sosial
Penerapan hukum fiqih yang apa adanya dari tafsir “mentah” atas alqur’an hanya akan menmbulkan perdebatan dan konflik lain. Mengingat negara kita adalah negara pancasila, bukan negara Islam. Tetapi paling tidak ada transformasi nilai hukum fiqih menuju sanksi sosial masyarakat. Maksudnya, bagaimana maqasid al-syariah hukum potong tangan bisa tercapai melalui sanksi sosial tanpa harus menerapkan hukum potong tangan. Maqasid al-syariah hukum potong tangan bisa dipahami agar para koruptor jera dan takut untuk melakukan perbuatan terkutuk itu lagi. Dalam hal ini fatwa ulama NU bisa dijadikan gambaran bagaimana mencapai maqasid al-syariah itu. Ulama NU dalam sebuah Munas Alim Ulamanya akhir Juli 2002 mengeluarkan fatwa agar masyarakat tidak usah menshalati jenazah koruptor. Landasannya, seperti yang telah sedikit disinggung di atas, korupsi bisa dikatakan syirik: seolah memandang Allah buta sekaligus menghamba pada selain Dia yaitu menghamba pada uang dan kesenangan semata.
Dekonstruksi Paradigma Masyarakat Terhadap Korupsi Dan Menguatkan Kontrol Sosial
Tentunya untuk mematahkan sistem yang terlanjur korup tidak cukup hanya melalui usaha-usaha hukum positif negara. Di samping hukum negara acapkali ditelikung dan politisir oleh para koruptor itu sendiri karena mereka sendiri yang kadang “menciptakan” hukum itu. Butuh peran seluruh elemen terutama masyarakat untuk memberangusnya. Setidaknya, koruptor merasa jera dengan diasingkan dari kehidupan bermasyarakat dan diberi hukuman sosial yang setimpal.
Sanksi sosial selama ini dirasa cukup efektif untuk membendung ekses negatif budaya. Kontrol sosial mampu mengekang gerak gerik anggota masyarakatnya dengan baik. Itupun selama realitas dan “konsolidasi” sosial masih terbangun secara baik.
Sayangnya, paradigma mengkerangkeng koruptor dengan jalan hukuman sosial sulit untuk diciptakan. Disamping masyarakat masa kini tergiring pada arus individualisme, sepertinya, masyarakat juga terlalu terbiasa menganggap korupsi sebagai hal yang lumrah dan biasa terjadi di setiap instansi dan birokrasi.
Selama ini masyarakat memahami bahwa korupsi hanya persoalan hukum pidana. Belum terbentuk sebuah pemahaman bahwa korupsi juga masalah rakyat, karena merugikan rakyat. Bagi rakyat, seorang koruptor yang dermawan masih dianggap lebih baik daripada bukan koruptor tapi pelit. Paradigma ini tentu terbangun bukan dengan sendirinya tetapi melalui proses transformasi yang cukup panjang. Mohammad Hatta saja pada tahun 1950-an sudah mengatakan bahwa korupsi waktu itu telah membudaya. Wajar jika saat ini budaya korupsi telah meracuni pikiran dan paradigma masyarakat.[20]
Barangkali pemahaman masyarakat yang demikian berangkat dari ketidaktahuan mereka akan dampak korupsi bagi mereka sendiri. Mereka tidak terlalu mengerti bahwa korupsi lah, salah satunya, yang telah menyengsarakan mereka dan membuat mereka menjadi pembantu di negeri sendiri selama ini. Atau masyarakat hanya tahu bahwa hanya dengan menyuap para abdi rakyat kebutuhan dan kepentingan mereka akan cepat teratasi. Keluguan masyarakat ini yang lalu menjadi ladang empuk dimanfaatkan oleh koruptor yang cerdik untuk mengenyangkan perut mereka sendiri.
Karenanya, mengubah paradigma masyarakat yang kadong mengakar itu ialah kemestian yang tak bisa ditawar-tawar. Perubahan paradigma masyarakat tentu harus melibatkan banyak pihak. Tokoh masyarakat, ulama, agamawan, dan cendikiawan Islam harus getol mengkampanyekan bahwa korupsi adalah sebab penting penderitaan rakyat selama ini. Masyarakat wajib disadarkan akan kenyataan itu sekaligus tanggung jawabnya untuk memberantas korupsi secara bersama-sama.
Teologi Revolusioner: Titik Pijak Mengubah Paradigma
Persoalan paradigma masyarakat (baca: umat) tak lepas dari pemahaman mereka atas agama. Karana itu, mengubah paradigma sama saja berbicara mengubah pemahaman teologis masyarakat atas Islam.
Selama ini mayoritas masyarakat memahami keberagamaan sebatas ritual yang mahdhah saja. Di luar ibadah menyembah Allah, seringkali dipahami sebagai bukan wilayah agama. Tidak ada akibat yang nampak dari model keberagamaan dengan teologi yang pasif ini. Ada dikotomi pemahaman yang keliru di masyarakat yang terlanjur mengakar. Lebih ironisnya, pemahaman yang keliru ini tidak hanya mengakar pada masyarakat awam tetapi juga sebagian ulama atau kyai di negeri ini.
Pada ahli kosmologi menunjukan keunikan manusia, bahwa ada peran ganda yang diemban (double caracter) oleh manusia di dunia ini: sebagai hamba (‘abid) yang harus mengisi kehidupan dengan beribadah pada Allah sekaligus sebagai wakil Allah (khalifatullah fi al-ardl) yang bertanggung jawab atas keadaan dunia.[21] Dengan demikian, manusia niscaya menjalankan kedua tugasnya secara bersamaan. Sejalan dengan itu, teo sentris harus digeser menjadi antropo sentris. Bahwa tanggung jawab mengurusi umat dan menciptakan keadilan di muka bumi merupakan tanggung jawab yang tidak kalah penting daripada sekedar mengabdikan diri dengan beribadah pada Allah. Tak ada gunanya jika beriman (berteologi) hanya sebatas mengesakan Allah. Tanpa diesakan, Allah maha tunggal.[22]
Kesempurnaan iman seseorang tidak hanya terletak pada sejauhmana seseorang taat dan beribadah kepada tuhan, tetapi juga memberikan sumbangsih positif dan mengambil perannya di tengah umat. Teologi revolusioner mengandung pengertian bagaimana keimanan seseorang mampu membakar dirinya untuk berbuat lebih dan memberi manfaat di tengah umat.
Dalam kontek pemberantasan korupsi, bagaimana pemahaman atas agama mampu mengejawantah pada tataran riil dan berujud kesalehan sosial. Seseorang yang berpemahaman demikian tentu tidak akan mengikuti nafsunya untuk melakukan korupsi karena sepenuhnya ia sadar bahwa korupsi sama saja mendustakan agama.
Keberagamaan seseorang terletak pada sejauhmana ia mentransformasikan pemahamannya pada wilayah riil.[23] Sementara sistem sosial bisa dipahami sebagai akumulasi dari harga perilaku dan pemahaman masyarakat akan realitas—dalam hal ini agama. Jika pemahaman umat sudah sampai pada pemahaman utuh atas teologi tadi, teologi revolusioner dengan sendirinya akan menciptakan sistem yang bersih dari tindakan korupsi. Di samping masing-masing mereka mengontrol diri mereka sendiri juga mengontrol realitas di sekitar mereka. Dengan begitu, kesempatan untuk melakukan korupsi paling tidak bisa diminimalisir.
Lebih jauh lagi, pergeseran paradigma tadi (sifting paradigm) yang terkait korupsi(tor) akan mampu menciptakan tatanan sistem yang memiliki kontrol sosial tinggi terhadap kejahatan korupsi tersebut. Berangkat dari pemahaman bahwa korupsi acapkali luput dan lolos dari jerat hukum, masyarakat hendaknya memiliki hukum tersendiri untuk mengganjar korupsi. Tentunya bukan dengan cara-cara radikal dan tidak manusiawi.
Di situlah pemberantasan korupsi perlu melibatkan seluruh kekuatan sosial, terutama ketika partai dan lembaga politik gagal menjalankan fungsi pendidikan politik serta terperangkap dalam perilaku korup secara sistematis dan kultural.
Selanjutnya, kontrol sosial tersebut bisa berfungsi efektif jika elite agama terus-menerus mengembangkan kegiatan keagamaan (ritual dan sosial) yang berfungsi bagi pemberantasan korupsi sekaligus menumbuhkan sikap kritis rakyat dan umat terhadap setiap korupsi. Rakyat dan umat secara keseluruhan harus diajak bersama memberikan sanksi sosial kepada politisi serta pejabat publik yang korup.
Mengubah paradigma masyarakat melalui pembumian teologi revolusioner tadi juga butuh pada model pendidikan anti korupsi. Maksudnya, bukan sebatas memasukkan pelajaran tentang bahaya korupsi pada kurikulum pendidikan, tetapi lebih dari itu butuh pembiasaan dan internalisasi watak dan karakter yang bersih melalui berbagai pendekatan. Sebuah model pendidikan yang mengutamakan kejujuran dan kedisiplinan yang berangkat dari kesadaran keberagamaan. Tentunya yang menjadi tumpuan poin ini adalah bagaimana mendidik generasi bangsa, peserta didik.
Pendidikan Anti Korupsi
Korupsi ibarat sebuah ajaran tarekat yang diajarkan turun temurun. Bedanya, korupsi diajarkan melalui warisan sistem yang bobrok dan pola mendidik generasi muda, yang tanpa sadar ternyata, kurang tepat.
Sangat wajar ketika Musthafa Bishri “menyalahkan” pendidikan kita lantaran telah menyumbang out put pendidikan berupa koruptor. Menurutnya, bagaimana pun korupnya para pejabat kita, mereka tetap merupakan produk dari pendidikan bangsa kita sendiri.[24]
Berangkat dari kenyataan itu, pemberantasan korupsi juga harus digalakkan dalam ranah pendidikan. Menyelesaikan persoalan korupsi dari aspek hukum saja adalah suatu langkah yang kurang efektif karena pasti tidak akan memperoleh penyelesaian yang maksimal, seperti yang diharapkan semula. Upaya pemberantasan korupsi juga harus dilakukan secara komprehensif di segala bidang dan dengan berbagai pendekatan, termasuk melalui pendidikan.
Sederhananya, pendidikan anti korupsi adalah membiasakan hidup sederhana dan bersahaja.[25] Seperti yang telah dibahas di atas, perilaku korup berangkat dari pola hidup yang mewah dan glamor. Demi mempertahankan atau meningkatkan pola hidup yang demikian itu, seseorang sangat mungkin dengan nekat melakukan tindakan yang di luar koridor agama dan hukum. Pola hidup sederhana adalah satu-satunya solusi untuk menanggulangi hasrat gila harta yang menjerumuskan orang bertindak korup.
Secara budaya, pola hidup boros dan besar pasak daripada tiang merupakan akar dari perilaku korup itu. Karenanya, hidup sederhana dan apa adanya, sesuai dengan yang dimiliki dan tanpa mengada-ada, menjadi sebuah prinsip yang perlu ditanamkan. Hidup sederhana dan bersahaja dapat menjadi mekanisme kontrol yang efektif terhadap perilaku yang korup.
Celakanya, pembiasaan hidup sederhana menghadapi tantangan yang besar. Apalagi ketika dihadapkan pada realitas masyarakat yang semakin konsumtif dan doyan bermewah-mewahan. Sudah menjadi lumrah, di kota-kota besar atau bahkan dimana pun, kecenderungan orang pada kebutuhan materi semakin meningkat, dan tanpa sadar, masyarakat digiring untuk mendewakan materi. Sampai pada titik tertentu, materi menjadi ukuran segalanya: kebahagiaan, terutama prestise atau harga diri. Yang terakhir ini sebenarnya yang paling membahayakan.
Kini, apresiasi terhadap seseorang nyaris hanya didasarkan pada materi: berapa mobil yang dimiliki, tinggal di perumahan elite atau kumuh, makanan ala apa yang dikonsumsi, dan semacamnya. Sebentuk kekeliruan mengapresiasi yang telah begitu mengakar di tengah masyarakat kita saat ini.
Semestinya, apresiasi terhadap seseorang tidak didasarkan pada materi. Karena dengan begitu, secara tidak langsung, mendorong seseorang itu untuk melakukan akumulasi kapital sebanyak-banyaknya guna mendapat apresiasi tinggi dari sesamanya, tanpa memperhatikan cara-cara yang seseorang itu lakukan untuk akumulasi kapital itu. Kecenderungan untuk memperoleh pujian “wah” membuat orang sering terlena, sehingga kehilangan kontrol atas dirinya untuk tidak bertindak korup. Dalam hal ini, pujian atas materi ibarat candu yang nikmat untuk diisap terus menerus sampai lupa daratan.
Misalnya saja, kecenderungan anak muda untuk memiliki handphone (HP) bermerk dan terbaru adalah salah satu contoh perilaku yang mengarah kesana. Tindakan dan pola pikir yang demikian tentu tidak rasional. Seorang anak muda, demi mendapatkan prestise dari orang terdekat, teman-temannya, dan lingkungan pergaulannya, tidak berfikir lagi tentang efektivitas dan efisiensi ekonomi. Dengan kata lain, pertimbangan prestise itu telah mengorbankan rasionalitas berfikir sekaligus bertindak secara efektif, efisien, dan ekonomis, yang kemudian melahirkan koruptor-koruptor baru di tengah masyarakat.
Pesantren: Dari Stagnasi Teologi Ke Ideologi Anti Korupsi
Bicara pendidikan tentu tak bisa lepas dari institusi yang bernama pesantren. Realitas saat ini menunjukkan bahwa pesantren memiliki kwantitas yang tidak sedikit.[26] Dengan jumlah banyak itu, sepantasnya, eksistensi pesantren memiliki peran strategis dalam memupuk potensi generasi untuk menciptakan out put yang mumpuni dan berakhlaqul karimah.
Tanggung jawab moral pesantren sebagai lembaga pendidikan dalam memberantas korupsi tentu harus dikongkritkan melalui, salah satunya, perbaikan sistem pendidikan pesantren itu sendiri. Karena bagaimanapun, pesantren, sebagai lembaga yang konsen pada pembentukan karakter dan moralitas, punya tanggung jawab untuk bagaimana mencetak kader ulama yang, dalam konteks ini, tidak korup.[27]
Sebagai lembaga yang berbasis Islam dimana moralitas menjadi substansi dan sangat dijunjung tinggi, pesantren hendaknya serius membaca persoalan korupsi secara kritis dengan menganggap persoalan korupsi sebagai penyakit sosial yang membahayakan. Kesadaran semacam itu merupakan keniscayaan dan harus menjadi titik fokus pendidikan pesantren.
Bentuk pendidikan yang didasarkan pada cita-cita keadilan sosial dan perlawanan terhadap segala tindak kedzaliman, termasuk budaya korup. Model pendidikan anti korupsi di pesantren bisa dimulai dari perbaikan kurikulum materi-materi keagamaan (moral) yang lebih menitikberatkan pada moralitas bersih dan tidak korup. Di samping itu, konsep-konsep keagamaan menyangkut moralitas itu di landing-kan dalam perilaku santri sehari-hari. Dengan demikian, teologi yang diajarkan di pesantren tidak hanya sebatas teori tetapi berujud pada ideologi anti korupsi yang selanjutnya diberikan ruang luas untuk diterjemahkan secara praksis dalam kehidupan nyata. Misalnya saja, konsep zuhd oleh karena menginginkan kemantapan bertauhid pada Allah terejawantah dalam kesederhanaan.
Pada taraf tertentu, pesantren dapat dijadikan sebagai model sistem yang bersih dari tindakan korup. Paling tidak, semangat pendidikan berbasis kesederhanaan bisa dijadikan tamsil bagaimana semestinya memulai pola hidup sederhana.
Ikhtitâm: Istiqamah Berjihad Melawan Korupsi
Memberantas korupsi, karenanya, tidak hanya di catat sebagai amal baik, tetapi lebih dari itu, perbuatan yang demikian termasuk jihad. Korupsi adalah bentuk kedzaliman nyata dan menyengsarakan jutaan umat. Maka memeranginya, tentu menjadi bentuk keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar.
Memberantas korupsi dari berbagai pendekatan harus terus diupayakan. Islam, di samping konsentrasi memperbaiki internal diri seorang muslim melalui perbaikan akhlak dan peningkatan moralitas, juga istiqamah memperbaiki tatanan sosial masyarakat yang sudah terlanjur korup.
Saat ini, butuh sebuah sistem umat yang konsisten menjaga kebersihan sistem itu dari perilaku korup. Maka perubahan paradigma masyarakat atas segala persoalan yang menyangkut korupsi dan pendidikan anti korupsi—baik di sekolah umum maupun di pesantren—harus terus diupayakan. Karena, satu-satunya solusi untuk—paling tidak—meminimalisir tindakan korupsi adalah dengan cara yang demikian itu.
Pilihan-pilihan tafsir atas korupsi dan sanksinya serta solusi sistemik untuk menangkal sekaligus membumihanguskan korupsi harus dipahami dalam kacamata kemadharatan yang ditimbulkan korupsi itu. Tanpa itu, para koruptor tak akan jera dan akan terus beroperasi mengeruk uang rakyat.
Akumulasi dari segala upaya memberangus tindak korupsi, salah satunya, melalui perbaikan kultur sosial budaya dari perilaku korup adalah terciptanya masyarakat yang baldatun tayyibatun warabbun ghafur. Wallahua’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Fattah Thabbarah, Afif, 1980, “Dosa Dalam Pandangan Islam”, dalam Dr. Yahya Jaya, MA, Peranan Taubat Dan Maaf Dalam Kesehatan Mental, (Jakarta, RUHAMA)
Al-Ghazali, Imam, Ihya ‘Ulumuddin juz 4
Ananta Toer, Pramoedya, 2004, Korupsi, (Jakarta, Hasta Mitra)
As Suyuthi, Imam, Tarikh al-Khulafa’
As-Syakir, Utsman Bin Hasan Bin Ahmad, Durrah al-Nasihin
Ash-Shiddieqy, Hasby, 1977, Al-Islam I, (Jakarta, Bulan Bintang,)
Azhar Azis, Harry, 2007, Majalah ECPOSE Edisi 25, (Jember, Fakultas Ekonomi UNEJ )
Ali Engineer, Asghar, 2002, Asal Ushul Dan Perkembangan Islam, (Jogjakarta, Insist)
Bishri, Musthafa, 20 mei 2006, Ceramah dalam seminar dengan tema: Menerjemahkan Cita-Cita Sosial Keberagamaan: Upaya Mewujudkan Bangsa Yang Tenteram Dan Bermoral Tinggi, di UNIJA Sumenep
Darmaningtyas, 2004, “Utang, Korupsi, Dan Akses Pendidikan Dasar”, dalam kumpulan tulisan Kompas: Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan, (Jakarta, Kompas Media Nusantara)
_______________ , 2006, “Hidup Sederhana= Pendidikan Anti Korupsi”, dalam Jurnal Edukasi vol V, (Sumenep, Diknas Sumenep)
Derma Weda, Made, 1996, Kriminologi, (Jakarta, Raja Grafindo Persada)
Effendi, Bishri, 1990, An-Nuqayah: Gerak Transformasi Sosial Di Madura, (Jakarta, P3M)
Ghazali Harahap, Ahmad, 2003, PMII: Pelopor Dan Penggerak Perubahan, (Jakarta, Pustaka Idigo )
Haedari, Amin, 14 Juni 2006, “Mengembalikan Tradisi Intelektual Pesantren”, dalam koran harian nasional Jawa Pos
Hanafi, Hasan, 2004, Islamologi 2: Dari Rasionalisme Ke Empirisme, (Jogjakarta, LKiS)
Syafe’i, Rachmat, 2004, Fiqih Muamalah, (Bandung, Pustaka Setia )
Mushtafa Al-Maraghi, Ahmad, 1993, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang, Toha Putra)
Murata, Sachiko, 1998, The Tao Of Islam, (Bandung, Mizan)
Shihab, M. Quraish, 2006, Tafsir Al-Mishbah Volume III, (Jakarta, Lentera Hati)
Shoub, Hasan, 1997, Islam Dan Revolusi Pemikiran; Dialog Kreatif Ketuhanan Dan Kemanusiaan,( Surabaya, Risalah Gusti)
Zubairi, A. Dardiri, 15 Maret 2007, makalah dengan judul: “Pendidikan Melawan Korupsi” dalam seminar gerakan anti korupsi di Sumenep.
_______________ , 31 Maret 2002, Media Indonesia
_______________ , 06 Juli 2007, Jawa Pos
_______________ , 13 Juni 2007, Al-Islam, buletin edisi 359,
[1] Media Indonesia, 31 Maret 2002
[2] Buletin Al-Islam Edisi 359, 13 Juni 2007
[3] Harry Azhar Azis, Majalah ECPOSE Edisi 25, Fakultas Ekonomi UNEJ, Jember, 2007, hal. 24
[4] Buletin Al-Islam Edisi 359, 13 Juni 2007
[5] Darmaningtyas dalam kumpulan tulisan Kompas; Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2004, hal. 151
[7] Afif Abdullah Fattah Thabbarah, Dosa Dalam Pandangan Islam, Bandung, Risalah, 1980, hal 4. dalam buku karangan Dr. Yahya Jaya, MA, Peranan Taubat Dan Maaf Dalam Kesehatan Mental, Yayasan Pendidikan Islam RUMAHA, Jakarta, 1992 hal. 32.
[8] Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, Hasta Mitra, Jakarta, 2004. Hal ii.
[10] Imam As Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, hal. 274
[11] Lihat di Durratunnasihin, hal. 13
[12] QS at-Taghabun: 15 dan QS al-Kahfi: 46. Ketika menggunakan qiyas aulawi, korupsi tentu lebih jahat dibanding riba. Padahal, bagi seseorang yang melakukan riba saja, Allah telah demikian murka dan menantang mereka secara berhadap-hadapan dengan Allah dan Rasul-nya. (tidak bisa berdiri di hari kiamat lantaran perut yang disesaki barang haram menjijikan: QS. 02: 275; dan allah dan rasulnya menjadi lawan bagi mereka itu: QS. 2: 278-279)
[13] HR. Bukhari dan HR Tirmidzi dalam Fiqih Muamalah, prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, Pustaka Setia, Bandung, 2004, hal 26
[14] Jawa Pos, 06 Juli 2007
[15] Asghar Ali Engineer, Asal Ushul Dan Perkembangan Islam, Insist, Jogjakarta, 2002, dalam sinopsis.
[16] QS. Al-Maidah 38
[17] Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Toha Putra, Semarang, 1993, hal. 210
[18] Ibid, hal 211
[19] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, volume III, Lentera Hati, Jakarta, 2006, hal. 94
[22] Hasan Hanafi, Islamologi 2: Dari Rasionalisme Ke Empirisme, LkiS, Jogjakarta, 2004, hal 7
[23] Hasan Shoub, Islam Dan Revolusi Pemikiran; Dialog Kreatif Ketuhanan Dan Kemanusiaan, Risalah Gusti, Surabaya, 1997, hal. 136
[24] Musthafa, Bishri, 20 Mei 2006, Ceramah dalam seminar dengan tema: Menerjemahkan Cita-Cita Sosial Keberagamaan: Upaya Mewujudkan Bangsa Yang Tenteram Dan Bermoral Tinggi, di UNIJA Sumenep
[25] Seperti yang telah dicontohkan Nabi—tanpa harus menyebut lebih dulu satu-dua hadits pun. Nabi adalah gambaran manusia sederhana dan apa adanya. Kemiskinan yang dijalani nabi adalah pilihan, bukan “kecelakaan”. Karena nabi merasa cukup dengan kesederhanaan dalam kemiskinannya itu.
[26] Dalam catatan Bishri Effendi, tahun 1990, jumlah pesantren dan madrasah yang ada di madura saja mencapai 2.271, lebih banyak dibandingkan dengan jumlah sekolah umum yang hanya 731. Lebih jelasnya lihat pengantar Bishri Effendi, Annuqayah: Gerak Transformasi Sosial Di Madura, P3M, Jakarta, 1990, hal. VII
[27] Lihat Amin Haedari, artikel “Mengembalikan Tradisi Intelektual Pesantren”, dalam koran harian Jawa Pos, 14 Juni 2006