Blogger Jateng

Dongeng Cinta Sang Perawan; Sejarah Hidup Rabi’ah al-‘Adawiyah

Judul buku : Dongeng Cinta Sang Perawan

(terj. dari First Among Sufis; The Life and Thought

of Rabia al-Adawiyya, the Woman Saint of Basra)

Penulis : Widad el Sakkakini

Penerbit : Diva Press, Jogjakarta,

Cetakan : Pertama; Oktober 2007

Tebal Buku : 187 Halaman

Cinta duniawiyah hanya mengenal tiga macam cinta: cinta harta, cinta takhta, dan cinta wanita. Cinta yang kerapkali menjerumuskan manusia pada penafian eksistensi dan mereduksi kesempurnaannya. Cinta pada Tuhan sebagai kewajiban sebuah pengabdian, acapkali terlupakan. Padahal cinta berasal dari Cinta (C besar) dan cinta manusia seutuhnya bermuara pada Cintanya Dia. Tidak yang lain.

Cinta yang terakhir disebut itu, ternyata pernah menjadi jiwa dan ruh dari seseorang yang namanya diabadikan oleh tinta emas sejarah. Rabi’ah al-Adawiyah. Lahir sebagai anak keempat dari keluarga miskin papa di tengah gejolak kota Basra lebih dari satu seperempat milenium yang lalu. Lahir dan tumbuh di kota “panas” lantaran gejolak politik Umayyah, pemberontakan Khawarij, dan krisis moral, Rabia’ah tetap terawat dalam kesucian yang terbumbui kesengsaraan dan kesusahan.

Saat disebut, namanya begitu menggetarkan dan segera mengingatkan pada tokoh sekaliber Jalaluddin Rumi, al-Busthami, al-Hallaj, Junaid al-Baghdadi, atau al-Ghazali. Tetapi sekali-kali tidak. Rabi’ah tidak seperti mereka, tapi melampaui mereka.

Rabi’ah punya cinta, yang tak seorang pun menandingi kesucian dan ketulusannya. Cinta bukan hanya spirit baginya, tapi ruh yang mengantarkannya menjadi—mengutip al-Attar—“Maria Kedua dan Wanita Tanpa Noda”. Rabi’ah, perempuan, melegenda menjadi sang sufi cinta terbesar sepanjang sejarah.

Tampaknya Rabi’ah telah digiring takdir untuk hanya memiliki cinta. Cinta pada Tuhan, Allah. Tidak yang lain. Betapa tak ada yang mampu memalingkan, apalagi menggantikan, cintanya pada Allah. Meski hidup sebagai hamba sahaya (budak), sebab ia diculik dan dijual pada sang majikan kaya, Rabi’ah tak sehela-nafas pun melepaskan cintanya itu.

Isyq (rindu), jazab (gila), dan fana (lebur) melebur hanya pada hubb (cinta) dalam diri Rabi’ah. Cinta tanpa embel-embel. Murni--sekaligus sunyi. Ia tidak menoleransi bentuk pengabdian apa pun pada Tuhan selain dengan cinta. Ia tidak menyisakan sesenti-ruang pun di hatinya untuk diisi selain dengan cinta.

Al-Ghazali barnagkali masih butuh dua sayap untuk terbang menghampiri Tuhan, yaitu khauf (takut) dan raja’ (harap). Sementara Rabi’ah memohon pada Tuhan agar membakarnya dengan api neraka jika pengabdiannya masih dikotori hasrat akan Surga dan ketakutan pada siksa Neraka. Rabi’ah hanya punya cinta dan cukup dengannya bercengkrama berlama-lama dengan Kekasihnya.

Cinta Rabi’ah bukan cinta Romeo-Juliet. Bukan bara cinta yang terasuki hasrat apalagi berahi. Cinta Rabi’ah adalah keikhlasannya berlama-lama bercengkrama dengan Tuhan, siang malam. Cinta Rabi’ah adalah ketulusannya memandang segala sesuatu yang tampak dengan penuh kasih sayang. Karena alam, dunia dan seisinya, adalah sebuah manifestasi dari Sang Kekasih, Tuhan.

Karena itu cinta Rabi’ah membias pada totalitas kasih sayang. Kesempurnaan pengabdiannya pada Tuhan membuat ia mampu memahami dengan utuh realitas dan memperlakukannya sebagaimana mestinya.

Betapa agungnya cinta Rabi’ah, hingga gemanya meresonansi diruang asing modernitas kini. Keagungan cinta yang melegenda menjadi simbol kesejatian dan ketulusan pengabdian. Cinta “Sang Perawan Kedua” benar-benar menguras pena banyak orang untuk menelusuri dan menauladaninya sepanjang sejarah.

“Dongeng Cinta Sang Perawan” adalah judul terjemahan biografis dari karya aslinya: First Among Sufis; The Life and Thought of Rabia al-Adawiyya, the Woman Saint of Basra. Ibu Widad el Sakkakini, penulis buku aslinya, berhasil mendendangkan cinta Rabi’ah secara lebih objektif dan mengesankan. Meski baginya, sebagaimana seorang sejarawan, minimnya data lengkap tentang Rabi’ah mengantarkan Ibu el Sakkakini pada pemahaman bahwa Rabi’ah hadir dalam panggung sejarah antara imajinasi dan kenyataan. Meski demikian, rentetan sejarah yang dirangkai indah dan “berasa” ini menjadi sebuah buku biografi mengagumkan, sebuah kaleidoskop yang sempurna.

Kehadiran Rabi’ah sangat sejuk dan menyegarkan, sebagaimana cinta Rabi’ah pada Tuhan. Di tengah gempuran modernitas yang makin mengikis humanitas dan rasa kasih sayang, Rabi’ah menawarkan kesejukan cinta yang berbeda dibanding cinta dunyawiyah yang kerap menipu.

Cinta Rabi’ah bisa dibilang “alternatif”. Ia menawarkan setetes embun di panas padang pasir. Sebuah perspektif cinta yang—sebenarnya—menjadi sumber dari sejarah panjang percintaan di muka bumi.

Cinta manusia kini terlukai dengan materi. Cinta manusia kini ternodai dengan harta, takhta, dan wanita. Cinta yang tereduksi ke titik nadir keberadaban manusia. Di tengah praktik dehumanisasi, demoralisasi, hedonisasi, dan materialisasi cinta masa kini, Rabi’ah berseru dengan ketulusan dan kemurnian cintanya.

Meski cinta Rabi’ah, tampaknya, akan dianggap aneh oleh kacamata modernitas, merenangi lebih dalam lautan cinta Rabi’ah akan menumbuhkan harapan untuk menghidupkan kembali benih cinta murni, yang selama ini terlupakan, tersisihkan, dan bahkan (di) mati (kan).