Beberapa pekan ini, media
Tahun lalu, Pro kontra isu aborsi juga sempat mewarnai opini publik.
Hak kesehatan reproduksi menurut mereka meliputi hak mendapatkan informasi, menentukan pilihan, mendapat layanan kesehatan reproduksi, serta hak atas keamanan dan kenyamanan. Aborsi, menurut mereka termasuk pada hak menentukan pilihan atas janin yang dikandung: apakah akan tetap dipertahankan, atau digugurkan, dan hak mendapatkan layanan aborsi yang legal dan aman.
Dalam revisi UU kesehatan pasal 60 ayat 1 dan 2 disebutkan, “Pemerintah berkewajiban melindungi kaum perempuan dari praktik pengguguran kandungan yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab melalui peraturan perundang-undangan.” Selanjutnya juga disebutkan bahwa “Pengguguran kandungan yang tidak bermutu antara lain dilakukan tenaga kesehatan tidak profesional dan dilakukan tanpa mengikuti standar profesi yang berlaku”.( Suara Hidayatullah, Februari 2007)
Draf ini mengindikasikan dengan jelas bahwa Aborsi itu boleh, wajar dan termasuk pada hak menentukan pilihan bagi si perempuan. Yang dipermasakahkan hanya tindak aborsi yang tidak sesuai dengan ilmu kedokteran dan membahayakan nyawa perempuan yang mengandung janin itu.
Seorang ibu atau gadis remaja berhak menentukan pilihan atas kandungannya; apakah dia mau memelihara atau menggugurkan janin yang sedang dikandungnya itu.
Di satu sisi, argumen di atas masuk akal dan ‘sesuai’ dengan konteks kekinian di mana hak asasi—termasuk hak memilih—dijunjung setinggi-tingginya. Tetapi di sisi lain, menjunjung tinggi hak asasi individu sembari mengesampingkan hak kolektif orang lain, bangunan norma, tatanan etika, sistem moralitas religius dan sosial, adalah sikap yang tidak adil.
Semestinya, keadilan dalam hukum tidak dicapai dengan pertimbangan-pertimbangan sisi kemanusiaan si pelaku saja, sementara sisi kemanusiaan korban dan ekses sosialnya dikesampingkan. Sebab, jika demikian, hukum menjadi subjektif dan tidak adil. Sementara inti dari hukum sebenarnya terdapat pada nilai objektivitas dan nilai keadilannya.
Menurut hukum Islam (Fiqh), hukum asal aborsi adalah haram. Kecuali beberapa ulama memperbolehkan ketika janin belum sampai 40 atau 120 hari.
Fatwa MUI no 4 tahun 2005 mengharamkan aborsi karena dianggap melampaui kewenangan Allah SWT, yakni menghilangkan nyawa. Hanya saja, bagi perempuan hamil karena korban pemerkosaan, janin cacat, dan kehamilan yang membahayakan nyawa perempuan, MUI memperbolehkan aborsi itu.
Akan tetapi menurut penulis, keputusan hukum di atas hanya didasarkan pada pertimbangan fiqhiyah (hukum legal formal Islam) saja, sementara sisi lainnya tidak dipertimbangkan.
Hemat penulis, ketika ditambah pertimbangan moral-spiritual, keharaman aborsi menjadi mutlak dan tidak dibatasi dengan tenggang waktu 40 atau 120 hari. Sebab, membunuh janin, baik sudah ada ruhnya ataupun tidak, sama saja memangkas hak hidup si janin. Menggugurkannya sama saja membunuhnya, alias mengeksekusinya.
Janin terbentuk dari pertemuan ovum dengan salah satu sel sperma laki-laki. Dari sekian juta sel sperma laki-laki, hanya satu sel saja yang bisa membuahi ovum. Keberhasilan satu sel sperma mencapai ovum dan mengalahkan sel-sel sperma yang lain adalah bentuk perjuangan yang perlu dihargai sebagai perjuangan untuk hidup.
Bukan hanya hak hidup yang harus dilindungi, tetapi juga hak untuk hidup. Janin atau bakal janin juga sama-sama punya hak untuk hidup karena ia juga manusia potensial. Sementara aborsi termasuk pada tindakan memangkas hak untuk hidup si janin. Karena itu, perempuan yang menggugurkan kandungannya, selain tujuan menyelamatkan nyawa perempuan itu, berarti telah melanggar hak asasi manusia.
Di samping sudut pandang agama, moralitas sosial masyarakat kita menempatkan tindakan aborsi sebagai yang tercela, dan kejahatan asusila yang tak termaafkan. Pandangan masyarakat yang demikian harus dipahami sebagai kontrol sosial. Perempuan yang melakukan aborsi spontan mendapatkan hukuman dari masyarakat berupa dikucilkan dan dipandang sebelah mata. Di satu sisi, hemat penulis, hukuman yang demikian telah melewati batas kemanusiaan di mana perempuan itu juga berhak untuk mendapat tempat layak di tengah masyarakat. Namun di sisi lain, hukuman tersebut selama ini cukup efektif untuk membendung kasus aborsi.
Modernitas konteks kekinian menghadirkan masyarakat individualis. Akibatnya, penekanan tingkat aborsi melalui kontrol sosial sudah tidak efektif lagi. Salah satu solusinya adalah melalui hukum. Tindak aborsi harus dijerat dengan hukum, undang-undang, dan aturan-aturan yang ketat. Dengan begitu, Hukum benar-banar bisa meminimalisir aborsi demi melindungi hak hidup janin.
Selain itu, kesadaran akan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang menghormati sekaligus melindungi hak hidup harus terus dikampanyekan. Itu semua dilakukan dalam bingkai usaha memperbaiki kembali tatanan kontrol sosial dan infrastruktur sebuah kebudayaan Bangsa kita yang sesungguhnya. Sebagai bangsa beradab, penghilangan nyawa manusia tentu tidak saja dianggap keliru tetapi merupakan dosa yang tak termaafkan.