Membongkar Dekadensi Budaya Santri--Pesantren adalah ‘penjara’ yang di dalamnya, pemikiran, gagasan, dan gerakan sosial-budaya berjalan dinamis. Potensi pesantren yang demikian itu tumbuh dari dua hal: pertama, konsistensi dan kemandirian; kedua, kepercayaan masyarakat atasnya.
Di samping progresivitas pesantren menawarkan gagasan dan gerakan pembaharuan, religiusitasnya berhasil membangun kharisma dan pengaruh yang begitu besar.
Religiusitas pesantren tampak dari budaya agamis “masyarakatnya”—dalam hal ini santri. Ajaran dan nilai keagamaan yang terus menerus ditransformasikan melalui pendidikan membentuk sebuah budaya unik dan genuin. Dalam sejarahnya, budaya pesantren itu mampu mengejawantah dalam realitas masyarakat.
Pesantren, setidaknya, berhasil menyumbang tatanan nilai dan moral-etik yang kemudian dipegang masyarakat.
Besarnya peran pesantren dalam membentuk tatanan budaya masyarakat memosisikannya sebagai basis segala aktivitas. Segala hal yang berkaitan dengan aspek agama, sosial, pendidikan, bahkan ekonomi dan politik bertumpu pada pesantren.
Sumbangan pesantren yang begitu besar membuat masyarakat menyerahkan sebagian besar kepercayaannya pada pesantren.
Tokoh pesantren—kiai, ustaz, santri—adalah tumpuan masyarakat atas berbagai masalah keseharian yang dihadapi.
Masalahnya, kepercayaan masyarakat pada pesantren kini mulai terkikis. Salah satunya disebabkan pesantren tak lagi berada pada relnya. Beberapa kalangan mencurigai pesantren “lalai” dalam tugasnya sebagai “gawang” Islam Indonesia. Kritik ini, tampaknya, berangkat dari kenyataan; banyak tokoh pesantren yang terlalu asyik di wilayah politik, ‘bermain mata’ dengan kekuasaan, dan dekadensi budaya dan moral santrinya.
Kecolongan
Yang terakhir disebut, menarik untuk diteropong lebih dalam. Tak dipungkiri, budaya santri kian merosot. Hal itu tampak dari perilaku dan kebiasaan santri yang nyaris tercerabut dari akar keber-Islam-annya.
Tampaknya, masalah dekadensi budaya kini menyeruak ke setiap sudut kehidupan. Fenomena semaraknya perilaku yang mengarah pada budaya Barat: amoral, niretik, hedonis, konsumtif, dan bertolak belakang dengan religiusitas, kini mudah ditemukan.
Sebagai basis “pertahanan” Islam, masuknya budaya yang dekaden—bisa saja—menunjukkan kekeroposan pesantren. Tampaknya, pesantren kini kesulitan membendung penjajahan budaya. Kesulitan itulah yang acapkali membuat pesantren “kecolongan”.
Bolongnya gerbang pesantren mendorong ekspansi besar-besaran budaya luar masuk ke pesantren. Berbagai ideologi terbungkus kemasan modernitas dan teknologi diterima dengan tangan terbuka oleh santri nyaris tanpa filter. Westernitas atau kebarat-baratan berkedok lokalitas kerapkali membuat santri kegandrungan pada konsumerisme budaya yang berlebihan. Budaya dan etika nonreligius ditelan mentah-mentah. Tak sulit menemukan fenomena dekadensi budaya yang demikian itu.
Secara kasat mata, kita bisa melihat budaya, semisal, perayaan Hari Valentin, tahun baru, atau ulang tahun dengan cara-cara yang nyaris persis anak-anak kota. Dalam hal berpakaian, tak sedikit santri latah ikut-ikutan gaya yang sedang tren di kalangan selebritas. Dalam hal makanan, menanak (baca: atana’) dianggap “nggak gaul” dan merepotkan. Padahal, yang disebut terakhir juga termasuk aktivitas kependidikan dan pembelajaran kemandirian.
Santri, secara tidak sadar, kini dihinggapi budaya instan, konsumtif, dan hedonis. Instan lantaran terbiasa dengan “kemudahan”, segalanya didapat dengan mudah dan tanpa melalui proses yang teliti. Konsumtif akibat pudarnya daya kritisisme santri sekaligus lantaran dihadapkan pada dagangan produk kapitalis yang menggiurkan. Hedonis lantaran ada kecenderungan perilaku diarahkan untuk melulu menggali sebuah kesenangan semu—kira-kira demikian.
Dua hal di atas yang memengaruhi pola pikir, paradigma, kemudian perilaku santri. Pantas, andai moralitas dan budaya santri kian dekaden—seperti yang dituduhkan beberapa kalangan.
Membangun “Benteng”
Sajian budaya luar tak identik vitamin yang selalu “sehat” bagi santri. Budaya luar yang kian menggerogoti religiusitas santri mesti diantisipasi. Jika dibiarkan, masalah dekadensi budaya akan semakin berlarut-larut. Akibatnya, tidak hanya akan dirasakan oleh santri (baca: pesantren) tetapi juga masyarakat secara umum.
Perilaku tercela santri tentunya berangkat dari pola pikir dan paradigma yang keliru pula. Seperti yang disinggung di atas, mudahnya budaya luar masuk pesantren ialah akibat nihilnya daya kritisisme santri.
Guna membendung arus budaya, sebuah “benteng” perlu segera dibangun. Benteng yang dengannya, religiusitas budaya terus dipertahankan. Tentunya tak lantas menolak sepenuhnya segala budaya yang masuk selama tidak bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam dan pesantren.
Benteng yang dimaksud bukan dalam arti yang literal. Benteng yang dimaksud ialah sebuah pertahanan (budaya) yang terejawantah dalam kebiasaan santri bersikap kritis. Dengan begitu, budaya luar tidak mudah memengaruhi santri.
Masivitas masuknya arus budaya luar menuntut kejelian, kekritisan, dan sikap arif dalam menyikapinya. Globalisasi, melalui ‘tangan’ dan ‘jari-jarinya’, menggiring santri atau pesantren pada posisi dilematis; mempertahankan budaya atau mengikuti arus budaya. Sementara, sikap tengah-tangah acapkali bias, absurd, tampak tanpa identitas.
Apa pun yang “menimpa” santri (baca: pesantren) tak mengikis harapan besar masyarakat pada santri sebagai agen perubahan dan pembaharuan. Sampai detik ini, peran santri (juga pesantren) masih besar dan gaungnya terdengar di segala ranah kehidupan masyarakat—dari mulai agama, pendidikan, budaya, bahkan politik. Karena itu, butuh komitmen dan konsistensi santri untuk menjaga pesantren (secara kelembagaan) dan diri santri (secara pribadi) itu sendiri. Tanpa sikap demikian, santri (pesantren) akan tergerus kecenderungan dekadensi budaya global dan menjadi korban peradaban.