Blogger Jateng

Remaja dan Krisis Identitas

Remaja ialah rentang masa antara usia anak-anak dan dewasa, saat seseorang mengembara mencari sebuah identitas diri. Oleh karena itu, kerapkali remaja terombang ambing dalam ketidakjelasan identitas dan kebanyakan dari mereka gamang menghadapi kehidupan.

Proses pencarian jati diri seorang remaja itu juga secara bersamaan dihadapkan pada kenyataan budaya yang kian dekaden akibat ekses negatif dari transformasi multiaspek. Westerniasasi budaya acapkali menggiring remaja pada pola hidup matrealis-hedonis dan sama sekali jauh dari nilai-nilai keagamaan. Wilayah pergulatan yang rentan tersebut tak jarang menjerumuskan remaja pada sisi gelap kehidupan : menjadi pecandu, tukang nongkrong, hingga ujung-ujungnya menjadi sampah masyarakat.

Pentingnya Moralitas Islami

“Syubbân al-yaumi, rijâl al-gadd”: Pemuda hari ini adalah pemimpin di masa depan. Kira-kira seperti itulah Islam memandang pemuda (baca: remaja). Betapa pentingnya peran seorang remaja, sampai Islam menempatkannya pada posisi yang begitu mulia. Dengan dasar itulah, kemajuan atau kemunduran sebuah bangsa, terletak di atas pundak remaja. Karena remaja lah yang nantinya akan memimpin bangsa dimasa depan.

Islam begitu respon terhadap remaja. Dan islam memandang bahwa yang pertama kali harus dibangun dalam diri remaja adalah aspek akhlaknya. Sebagaimana orientasi pendidikan Islam secara umum, aspek moralitas atau etika menjadi titik tekan, “mengesampingkan” aspek-aspek lainnya. Konsep islam berangkat dari prinsip bahwa sebuah perilaku yang berdasar pada moralitas-religius, diyakini mampu mengantarkan manusia pada kebahagiaan.

Membangun Identity Foreclosure

Begitupun kaitannya dalam menyikapi remaja. Ketinggian moralitas, pada tingkat tertentu, mampu mengatasi apa yang disebut sebagai krisis identitas (crisis of identity) remaja. Jika moralitas telah mampu tertanam dalam diri seorang remaja, krisis identitas tak akan menjadi sebuah fenomena. Remaja akan menemukan dirinya sebagai berkepribadian, mandiri, disertai kepercayaan diri ketika ia mampu memegang prinsip-prinsip moralitas tersebut. Masa remaja tanpa krisis identitas diri inilah yang kemudian disebut sebagai Identity Foreclosure.

Membangun remaja yang identity foreclosure mutlak dibutuhkan. Hal itu dimulai dengan menanamkan nilai-nilai akhlak dalam diri remaja. Pertama, remaja harus dibimbing agar ia memiliki orientasi hidup yang jelas, tegas dan visioner. Dari itu kemudian idealisme remaja--sebagai ruh dan semangat pembaharuan--relatif terjaga. Idealisme dipandang penting bagi remaja lantaran ditangannya tergenggam masa depan bangsa.

Orientasi hidup yang jelas adalah modal vital dimana dengannya remaja akan mampu mengarungi masa remaja tanpa “dihantui” krisis identitas. Orientasi hidup visioner tentu akan menjadi daya penggerak (Driving Force) bagi remaja dalam menjalani hidupnya. Orientasi hidup tentunya jangan dimaknai sebatas hal-hal yang bersifat material-duniawi, tetapi lebih pada yang bersifat kekal-ukhrawi—sebagaimana yang dianjurkan Islam.

Membangun remaja tidak cukup hanya membekalinya dengan ilmu pengetahuan dan berbagai kecakapan, karena kecakapan mengerjakan soal ujian tidak selalu berbanding lurus dengan kecakapan menyelesaikan masalah dalam hidup. Oleh karena itu watak dan prinsip dasar yang semestinya tertanam pada diri remaja adalah ketertarikan serta kecintaannya pada ilmu. Karena, bermodal kecintaan pada ilmu itu, dengan sendirinya remaja akan menjadi manusia yang “gila” terhadap ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, kecintaan remaja pada ilmu serta ketinggian moralitas religius, mampu membekali remaja dalam menghadapi sekaligus menyelesaikan persoalan kehidupan.

Nilai-nilai moralitas yang mesti ditanamkan selanjutnya adalah mendorong ia agar memiliki cita-cita yang tinggi. Cita-cita diyakini mampu menjadi pendorong sekaligus pembakar semangatnya untuk terus maju menggapai harapannya itu. Akan tetapi, lagi-lagi, cita-cita haruslah yang visioner dan progresif. Artinya, cita-cita yang menerobos batas material ruang dan waktu. Cita-cita atau tujuan hidup yang tidak hanya berhenti pada tujuan mendapat kebahagian dunia, akan tetapi kebahagian akhirat. Keikhlasan, ketulusan, serta pengabdian pada kebenaran--yang menjadi landasan kebahagiaan sejati bisa diraih--hanya ditemukan pada bangunan cita-cita yang berasaskan pada tujuan-tujuan murni dan kekal.

Cita-cita seorang remaja tak boleh cita-cita yang pasif : berhenti pada tujuan-tujuan material yang sementara dan terkesan “absurd” ; belajar yang rajin agar menjadi pintar, kalau sudah besar biar menjadi dokter atau presiden. Cita-cita pasif model inilah yang kemudian cenderung mengurangi kepekaan hati, kecerdasan emosional dan spiritual, serta menumpulkan energi penggerak hidup.

Di mana Posisi Orang Tua?

Dari semua itu, peran orang tua menjadi begitu signifikan. Di tengah kesibukan orang tua yang semakin menyita perhatian, meluangkan waktu bersama anak (baca: remaja) semakin menuntut perencanaan. Bagaimana orang tua peduli dan menemani anaknya menghadapi sekaligus menjalani masa remaja.

Sejatinya, orang tua ibarat embun bagi musafir di padang pasir bagi anak-anaknya. Perhatian, kasih sayang, dan bimbingan orang tua terhadap anaknya adalah pelita dalam kegelapan. Kasih sayang orang tua yang tulus akan mampu memotivasi anak untuk melakukan hal-hal yang positif dan berguna. Dengan modal itu, remaja tak akan gamang, Sebaliknya, ia akan selalu berpikir positif dan optimis dalam menghadapi masa depan.